https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-3309919219570739/home TEORI PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM ~ INDONESIAN LAW (THEORY AND PRACTICE)

May 20, 2017

TEORI PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM

Hakim bebas memutus perkara pidana yang ditanganinya. Masalah kebebasan hakim juga menjadi faktor yang dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan dalam pemidanaan. Di Indonesia asas kebebasan hakim dijamin sepenuhnya dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimanadirumuskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kebebasan hakim dalam menjatuhkan sanksi bukanlah tanpa batas, karena tiada pidana tanpa undang-undang. Hakim hanya dapat memutuskan sanksi pidana berdasarkan jenis dan berat sanksi sesuai dengan takaran yang ditentukan dalam undang-undang. Hal ini sebagaimana tertuang dalam asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 KUHP.

Hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang yang didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Putusan hakim selain mendasarkan adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan oleh keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani (Ahmad Rifai). Ada suatu ungkapan yang berbunyi summum ius summa injuria, yang berarti makin lengkap, rinci, atau ketat peraturan hukumnya, maka keadilannya makin terdesak atau ditinggalkan, sehingga keadilan harus didahulukan dari kepastian hukum (Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 24)

Bunyi titel eksekutorial setiap putusan pengadilan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hakim harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam sebuah putusan, keadilan harus di atas segalanya termasuk di atas kepastian hukum. Keadilan harus dijadikan dasar analisis dalam setiap bagian putusan.

Putusan hakim yang ideal adalah apabila mengandung unsur-unsur Gerechtigkeit (keadilan), Zweckmassigkeit (kemanfaatan), dan Rechtssicherheit (kepastian hukum) secara proporsional. Suatu putusan hakim harus adil, tetapi harus pula bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun masyarakat, dan terjamin kepastian hukumnya (Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 24). Sebuah putusan diharapkan dapat memberikan kepuasaan pada semua pihak dalam suatu perkara, dengan memberikan alasan-alasan atau pertimbangan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana (Erna Dewi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Dinamika dan Perkembangan),Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, hlm. 64). Kekuasaan kehakiman dalam arti luas, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan mengadili”, tetapi mencakup kekuasaan menegakan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum (Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit : Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 34)

Kebebasan hakim secara  kontekstual  memilik   (tiga esensi  dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu (Ahmad Rifai, hlm. 104) :

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
c. idak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati, sehingga tidak ada pihak manapun yang dapat melakukan intervensi terhadap putusan hakim.

Menurut Barda Nawawi Arief, Hakim dalam mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan dapat mempertimbangkan beberapa aspek yaitu (Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23) :

1. Kesalahan pelaku tindak pidana
2. Motif dan tuhuan dilakukannya suatu tindak pidana
3. Cara melakukan tindak pidana
4. Sikap batik pelaku tindak pidana
5. Riwayat hidup dan sosial ekonomi
6. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum), kebenaran filosofis (keadilan) dan sosiologis (kemasyarakatan). Seorang Hakim harus membuat keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan dampak hukum dan dampak yang terjadi dalam masyarakat.

Penjatuhan hukuman terhadap pelaku harus melihat kepada kesalahan yang dilakukan. Hal ini berdasarkan asas kesalahan. Menurut Barda Nawawi Arief, syarat pemidanaan dalam suatu putusan bertolak dari dua pilar yang sangat fundamental yaitu asas legalitas (merupakan asas kemasyarakatan) dan asas kesalahan (merupakan asas kemanusiaan) (Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: Kencana, Jakarta, 2014. hlm. 94)

Pasal 55 (1) Rancangan KUHP memuat 11 daftar pengecekan yang harus dipertimbangkan hakim sebelum menjatuhkan pidana, yaitu (Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Pustaka Magister, Semarang, 2012, hlm.49) :

1.    Kesalahan pembuat tindak pidana
2.    Motif dan tujuan melakukan tindak pidana
3.    Sikap batin pembuat tindak pidana
4.    Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana
5.    Cara melakukan tindak pidana
6.    Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
7.    Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana
8.    Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana
9.    Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
10.    Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya
11.    Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan

Daftar pengecekan yang harus dipertimbangkan hakim tersebut diharapkan dapat memudahkan hakim dalam menetapkan takaran atau ukuran berat ringannya pidana (strafmaat). Daftar pertimbangan tersebut masih dapat ditambahkan sendiri oleh hakim, jadi tidak bersifat limitatif. Ide yang melatarbelakangi adanya pedoman ini untuk menghindari adanya disparitas pidana.

Aspek kesalahan menempati urutan pertama karena dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbutatan pidana adalah norma yang tidak tertulis, yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 24)

Menurut Moeljatno, terhadap perbuatannya itu, ada juga dasar pokok yaitu asas legalitas (principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.

Seseorang dinyatakan melakukan tindak pidana apabila seseorang melakukan tindak pidana dan memang mempunyai kesalahan sehingga menjadi dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas umum yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana ialah asas tiada pidana tanpa kesalahan kesalahan” (asas culpabilitas) yang merupakan asas kemanusiaan dan sebagai pasangan dari asas legalitas yang merupakan asas kemasyarakatan (Barda Nawawi Arief, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2014, hlm. 47)

Seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, pertama harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum sebagai unsur Objektif, dan kedua terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai unsur subjektif.

Seseorang dijatuhkan pidana tentu tidak cukup dilihat apakah orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Hal ini tergantung “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan,yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban hukum pidana yaitu “Tidak di pidana jika tidak ada kesalahan”.

Suatu perbuatan hanya dapat dipersalahkan, jika ia pada saat melakukan perbuatan itu, menghendaki akibat yang disebabkannya atau setidak-tidaknya akibat itu dapat diketahuinya terlebih dahulu. Jika pelaku pidana menghendaki akibatnya, maka kehendak itu disebut sengaja, yang dapat diketahuinya terlebih dahulu, maka terdapatlah kesalahan (Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 329)

Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi, bukan hanya rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Apabila kita kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materil. Bahkan tujuan hukum acara pidana dalam mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara, sebab ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum adalah mencapai suatu masyarakat yang tertib, damai, adil dan sejahtera

Pemahaman atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak lepas dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukaan oleh John Locke dan Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan kekuasaan kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.

Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma hukum dalam peraturan perundangan yang berlaku yang dilakukan oleh hakim melalui putusannya.

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya,dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, selain adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integitas moral yang baik.

Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.

Pedoman pemberian pidana dapat memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal tersebut penjatuhan pidana dapat diberikan secara lebih proporsional sehingga dapat dipahami mengapa pidana diberikan seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim (Intan Nurina, Eddy Rifai dan Firganefi, Disparitas Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jurnal Praevia, Vol. 7 No. 1 Januari – Juni, 2013, hlm.112)

Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya pada diri sendiri, jujurkah ia dalam mengambil putusan ini, atau sudah tepatkan putusan yang diambilnya itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah putusan ini atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang dijatuhkan oleh seorang hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat pada umumnya.

Adapun jenis-jenis putusan akhir Hakim dalam perkara pidana sebagai berikut :

a. Putusan Bebas (Vrijspraak)
Putusan bebas (Vrijspraak) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan, ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan, tidak ditemukannya adanya bukti yang cukup yang menyatakan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka kepada terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan besalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, sehingga oleh karena itu terhadap terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari segala dakwaan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag van Alle Recht Vervolging)
Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.

c.  Putusan Pemidanaan
Terdakwa yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

Untuk menjamin keadilan dan kepuasan para pihak yang berperkara, maja undang-undang memberikan kesempatan dengan menempuh upaya hukum atas Putusan Pengadilan. Pengertian upaya hukum tercantum dalam Bab I KUHAP mengenai ketentuan umum tepatnya pada Pasal 1 butir 12, upaya hukum diartikan sebagai hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi. Jadi apabila terdakwa atau penuntut umum menganggap keputusan hakim kurang tepat atau tidak adil maka dapat mengajukan upaya hukum.

Menurut  pandanga doktrin, upaya hukum pada pokoknya bermaksud sebagai berikut (Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 235:

1. Diperoleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan
2. Melindungi tersangka dari tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hakim
3. Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam jalannya peradilan
4. Usaha dari para pihak baik terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-keterangan baru

Dapat  disimpulkan  bahwa  upaya  hukum  merupakan  suatu sarana  baik  bagi  pihak terdakwa maupun  penuntut  umum  untuk mencari putusan yang dirasa adil bagi mereka. Sehingga dalam upaya hukum inilah kedua belah pihak akan kembali menguatkan argumentasi hukum mereka untuk mendapatkan putusan seadil-adilnya bagi mereka.

1 comment:

  1. Tks sdh membagi ilmunya yg sangat bermanfaat bagi saya khususnya dan yg lain pada umumnya.

    ReplyDelete

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com