Hakim bebas
memutus perkara pidana yang ditanganinya. Masalah kebebasan hakim juga menjadi
faktor yang dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan dalam pemidanaan. Di
Indonesia asas kebebasan hakim dijamin sepenuhnya dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimanadirumuskan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kebebasan
hakim dalam menjatuhkan sanksi bukanlah tanpa batas, karena tiada pidana tanpa
undang-undang. Hakim hanya dapat memutuskan sanksi pidana berdasarkan jenis dan
berat sanksi sesuai dengan takaran yang ditentukan dalam undang-undang. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 KUHP.
Hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa
berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang yang
didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183
KUHAP, yaitu :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”
Putusan hakim selain mendasarkan adanya alat-alat bukti
menurut undang-undang juga ditentukan oleh keyakinan hakim yang dilandasi
dengan integritas moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah semata-mata
didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati
nurani (Ahmad Rifai). Ada suatu
ungkapan yang berbunyi summum ius summa
injuria, yang berarti makin lengkap, rinci, atau ketat peraturan hukumnya,
maka keadilannya makin terdesak atau ditinggalkan, sehingga keadilan harus
didahulukan dari kepastian hukum (Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 24)
Bunyi titel
eksekutorial setiap putusan pengadilan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hakim harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama
dalam sebuah putusan, keadilan harus di atas segalanya termasuk di atas
kepastian hukum. Keadilan harus dijadikan dasar analisis dalam setiap bagian
putusan.
Putusan hakim yang ideal adalah apabila
mengandung unsur-unsur Gerechtigkeit
(keadilan), Zweckmassigkeit
(kemanfaatan), dan Rechtssicherheit
(kepastian hukum) secara proporsional. Suatu putusan hakim harus adil, tetapi
harus pula bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun masyarakat, dan terjamin
kepastian hukumnya (Sudikno Mertokusumo, Teori
Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 24). Sebuah
putusan diharapkan dapat memberikan
kepuasaan pada semua pihak dalam suatu perkara, dengan memberikan
alasan-alasan atau pertimbangan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran
dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus
terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Dengan kata lain,
sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana
atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana (Erna Dewi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Dinamika
dan Perkembangan),Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, hlm. 64). Kekuasaan
kehakiman dalam arti luas, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti
“kekuasaan mengadili”, tetapi mencakup kekuasaan menegakan hukum dalam seluruh
proses penegakan hukum (Barda Nawawi Arief, Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,
Penerbit : Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 34)
Kebebasan hakim secara kontekstual memilik 3 (tiga) esensi dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu (Ahmad Rifai, hlm. 104) :
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
c. idak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati, sehingga tidak ada pihak manapun yang dapat melakukan intervensi terhadap putusan hakim.
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
c. idak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati, sehingga tidak ada pihak manapun yang dapat melakukan intervensi terhadap putusan hakim.
Menurut Barda Nawawi Arief, Hakim dalam mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan dapat mempertimbangkan beberapa aspek yaitu (Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23) :
1. Kesalahan pelaku tindak pidana
2. Motif dan tuhuan dilakukannya suatu tindak pidana
3. Cara melakukan tindak pidana
4. Sikap batik pelaku tindak pidana
5. Riwayat hidup dan sosial ekonomi
6. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
1. Kesalahan pelaku tindak pidana
2. Motif dan tuhuan dilakukannya suatu tindak pidana
3. Cara melakukan tindak pidana
4. Sikap batik pelaku tindak pidana
5. Riwayat hidup dan sosial ekonomi
6. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis
(hukum), kebenaran filosofis (keadilan) dan sosiologis (kemasyarakatan). Seorang Hakim harus membuat keputusan yang adil dan bijaksana dengan
mempertimbangkan dampak hukum dan dampak yang terjadi dalam masyarakat.
Penjatuhan hukuman terhadap pelaku harus
melihat kepada kesalahan yang dilakukan. Hal ini berdasarkan asas kesalahan. Menurut Barda Nawawi Arief,
syarat pemidanaan dalam suatu putusan bertolak dari dua pilar yang sangat
fundamental yaitu asas legalitas (merupakan asas kemasyarakatan) dan asas
kesalahan (merupakan asas kemanusiaan) (Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: Kencana, Jakarta, 2014. hlm. 94)
Pasal 55 (1) Rancangan
KUHP memuat 11 daftar pengecekan yang harus dipertimbangkan hakim sebelum
menjatuhkan pidana, yaitu (Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Pustaka Magister, Semarang, 2012,
hlm.49) :
1.
Kesalahan
pembuat tindak pidana
2.
Motif dan
tujuan melakukan tindak pidana
3.
Sikap batin
pembuat tindak pidana
4.
Apakah tindak
pidana dilakukan dengan berencana
5.
Cara melakukan
tindak pidana
6.
Sikap dan
tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
7.
Riwayat hidup
dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana
8.
Pengaruh
pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana
9.
Pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
10.
Pemaafan dari
korban dan/atau keluarganya
11.
Pandangan
masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan
Daftar pengecekan yang
harus dipertimbangkan hakim tersebut diharapkan dapat memudahkan hakim dalam
menetapkan takaran atau ukuran berat ringannya pidana (strafmaat). Daftar pertimbangan tersebut masih dapat ditambahkan
sendiri oleh hakim, jadi tidak bersifat limitatif. Ide yang melatarbelakangi
adanya pedoman ini untuk menghindari adanya disparitas pidana.
Aspek kesalahan
menempati urutan pertama karena dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang
yang telah melakukan perbutatan pidana adalah norma yang tidak tertulis, yaitu
tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai
dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Moeljatno,
Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 2008, hlm. 24)
Menurut Moeljatno,
terhadap perbuatannya itu, ada juga dasar pokok yaitu asas legalitas (principle of legality), asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Seseorang dinyatakan
melakukan tindak pidana apabila seseorang melakukan tindak pidana dan memang mempunyai kesalahan sehingga menjadi dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas umum yang fundamental dalam pertanggungjawaban
pidana ialah asas “tiada pidana
tanpa kesalahan kesalahan”
(asas culpabilitas) yang merupakan asas kemanusiaan dan sebagai pasangan dari asas
legalitas yang merupakan asas kemasyarakatan (Barda Nawawi Arief, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana
Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2014, hlm. 47)
Seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, pertama
harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata
lain, harus ada
unsur melawan hukum
sebagai unsur Objektif, dan kedua terhadap pelakunya ada unsur
kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang
melawan
hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai unsur subjektif.
Seseorang dijatuhkan pidana tentu tidak cukup
dilihat apakah orang
itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak
di benarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan
pidana.
Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Hal ini tergantung
“apakah dalam melakukan perbuatan ini orang
tersebut mempunyai kesalahan,“yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban hukum pidana yaitu “Tidak di pidana jika tidak ada kesalahan”.
Suatu perbuatan hanya dapat dipersalahkan, jika ia
pada saat melakukan perbuatan itu, menghendaki akibat yang disebabkannya atau
setidak-tidaknya akibat itu dapat diketahuinya terlebih dahulu. Jika pelaku
pidana menghendaki akibatnya, maka kehendak itu disebut sengaja, yang dapat
diketahuinya terlebih dahulu, maka terdapatlah kesalahan (Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya
Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 329)
Hakim menjatuhkan pidana harus dalam
rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang.
Jadi, bukan hanya rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Apabila kita
kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan
kebenaran materil. Bahkan tujuan hukum acara pidana dalam mencari dan menemukan
kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara, sebab ada tujuan akhir
yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum adalah mencapai suatu masyarakat
yang tertib, damai, adil dan sejahtera
Pemahaman atas kekuasaan kehakiman yang
merdeka, tidak lepas dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukaan oleh John
Locke dan Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur,
atau netral. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan
kekuasaan kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.
Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan
kehakiman mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma hukum
dalam peraturan perundangan yang berlaku yang dilakukan oleh hakim melalui
putusannya.
Fungsi utama dari seorang hakim adalah
memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya,dimana dalam
perkara pidana, hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada
prinsipnya menentukan bahwa suatu peristiwa atau kesalahan dianggap telah
terbukti, selain adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan
keyakinan hakim yang dilandasi dengan integitas moral yang baik.
Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus
mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang
diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai
kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa
keadilan masyarakat.
Pedoman pemberian pidana dapat memuat
hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan si pelaku
tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal tersebut penjatuhan pidana
dapat diberikan secara lebih proporsional sehingga dapat dipahami mengapa
pidana diberikan seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim (Intan Nurina, Eddy Rifai
dan Firganefi, Disparitas Pidana Pada
Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jurnal Praevia, Vol. 7 No. 1 Januari
– Juni, 2013, hlm.112)
Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus
bertanya pada diri sendiri, jujurkah ia dalam mengambil putusan ini, atau sudah
tepatkan putusan yang diambilnya itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa,
atau adilkah putusan ini atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang
dijatuhkan oleh seorang hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi
masyarakat pada umumnya.
Adapun
jenis-jenis putusan akhir Hakim dalam perkara pidana sebagai berikut :
a. Putusan Bebas (Vrijspraak)
Putusan bebas (Vrijspraak) adalah
putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu
tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan
oleh penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan, ternyata setelah melalui
proses pemeriksaan dalam persidangan, tidak ditemukannya adanya bukti yang cukup
yang menyatakan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka
kepada terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
besalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum,
sehingga oleh karena itu terhadap terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari
segala dakwaan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan
Hukum (Onslaag van Alle Recht Vervolging)
Putusan pelepasan terdakwa dari segala
tuntutan hukum dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan
Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan
perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas
dari segala tuntutan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
c. Putusan
Pemidanaan
Terdakwa yang telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
dakwaan penuntut umum, maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang
setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya. Ketentuan ini tertuang dalam
Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
Untuk menjamin
keadilan dan kepuasan para pihak yang berperkara, maja undang-undang memberikan
kesempatan dengan menempuh upaya hukum atas Putusan Pengadilan. Pengertian upaya hukum tercantum dalam Bab I KUHAP
mengenai ketentuan umum tepatnya
pada Pasal 1 butir
12, upaya hukum diartikan sebagai hak terdakwa
atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
atau kasasi. Jadi apabila
terdakwa atau penuntut umum menganggap keputusan hakim
kurang tepat atau tidak adil maka dapat mengajukan upaya hukum.
Menurut pandangan doktrin, upaya hukum pada pokoknya bermaksud sebagai berikut (Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 235) :
1. Diperoleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan
2. Melindungi tersangka dari tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hakim
3. Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam jalannya peradilan
4. Usaha dari para pihak baik terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-keterangan baru
2. Melindungi tersangka dari tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hakim
3. Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam jalannya peradilan
4. Usaha dari para pihak baik terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-keterangan baru
Dapat disimpulkan bahwa upaya hukum merupakan suatu sarana baik bagi pihak terdakwa maupun penuntut umum untuk mencari putusan yang dirasa adil bagi mereka. Sehingga dalam upaya hukum inilah kedua belah pihak akan kembali menguatkan argumentasi hukum mereka untuk mendapatkan putusan seadil-adilnya bagi mereka.
Tks sdh membagi ilmunya yg sangat bermanfaat bagi saya khususnya dan yg lain pada umumnya.
ReplyDelete