https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-3309919219570739/home May 2017 ~ INDONESIAN LAW (THEORY AND PRACTICE)

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

May 20, 2017

TEORI KEADILAN HUKUM

Problema bagi para pencari keadilan yang paling sering menjadi diskursus adalah persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan perundangan yang diterapkan dan diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang menganggap hukum itu telah adil dan pandangan lainnya yang menganggap hukum itu tidak adil.

Problema demikian sering ditemukan dalam kasus konkrit, seperti dalam suatu perkara, seorang tidak adil terhadap putusan majelis hakim dan sebaliknya majelis hakim merasa dengan keyakinanya putusan itu telah adil karena putusan itu telah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Sinar Grafika, , 1996, hlm. 251).

Definisi keadilan dapat dipahami sebagai suatu nilai (value) yang digunakan untuk menciptakan hubungan yang seimbang antar manusia dengan memberikan apa yang menjadi hak seseorang dengan prosedur dan bila terdapat pelanggaran terkait keadilan maka seseorang perlu diberikan hukuman.

Pengertian adil menurut kamus besar Bahasa Indonesia yaitu sikap yang berpihak pada yang benar, tidak memihak salah satunya atau tidak berat sebelah. Keadilan adalah suatu tuntutan sikap dan sifat yang seimbang antara hak dan kewajiban. Salah satu asas dalam hukum yang mencerminkan keadilan yaitu asas equality before the law yaitu asas yang menyatakan bahwa semua orang sama kedudukannya dalam hukum.

Kata justice memiliki kesamaan dengan kata equity yaitu keadilan, yang dapat diartikan sebagai berikut (Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 91):

a.    Keadilan (justice), tidak memihak (impartial),memberikan setiap orang haknya (his due)
b.    Segala sesuatu layak (fair), atau adil (equitable)
c.    Prinsip umum tentang kelayakan (fairness) dan keadilan (justice) dalam hal hukum yang berlaku

Menurut Aristoteles (filosof Yunani) dalam teorinya menyatakan bahwa ukuran keadilan adalah (Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 93):

a.    Seseorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti sesuai hukum atau (lawfull), yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti
b.    Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan hak (equal)

Pembagian keadilan menurut Aristoteles dalam bukunya Etika, membagi keadilan kedalam dua golongan yaitu (Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 109):

a. Keadilan distributif, yakni keseimbangan antara apa yang didapati (he gets) oleh seseorang dengan apa yang patut didapatkan (he deserves).
b. Keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan mengkoreksi kejadian yang tidak adil, sebagai bentuk keseimbangan (equality) antara apa yang diberikan dengan apa yang diterimanya.

Keadilan korektif sebagai bentuk keadilan yang ditegakkan melalui suatu proses hukum dengan tujuan mengkoreksi suatu keadaan yang tidak adil yang telah terjadi, misalnya penjatuhan pidana dalam suatu perkara pidana.

Definisi keadilan dapat dipahami sebagai suatu nilai (value) yang digunakan untuk menciptakan hubungan yang seimbang antar manusia dengan memberikan apa yang menjadi hak seseorang dengan prosedur dan bila terdapat pelanggaran terkait keadilan maka seseorang perlu diberikan hukuman.

Keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. Pemenuhan keadilan sehingga suatu keadaan layak disebut adil adalah sesuatu yang sulit. Hal tersebut tidak dapat dijawab berdasarkan pengetahuan rasional. Jawaban pertanyaan tersebut adalah suatu pembenaran nilai. (Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 18)

Kehidupan sehari-hari kita sering mendengar pernyataan “kamu harus melakukan yang benar dan tidak melakukan yang salah.” Tetapi apa yang dimaksud “benar” dan “salah”? Jawaban pertanyaan tersebut diberikan oleh hukum positif. Mereka hendak mengungkapkan tata hukum positif sebagai sesuatu yang adil, meskipun mungkin saja suatu aturan hukum positif belum tentu menjadi adil.

Keadilan hanya dapat dapat muncul berdasarkan ketentuan hukum positif berupa undang undang yang ditentukan secara obyektif. Tata aturan ini adalah hukum positif. Inilah yang dapat menjadi objek ilmu, bukan hukum secara metafisik. Teori ini disebut the pure theory of law yang mempresentasikan hukum sebagaimana adanya tanpa mempertahankan dengan menyebutnya adil, atau menolaknya dengan menyebut tidak adil. Teori ini mencari hukum yang riil dan nyata, bukan hukum yang benar (Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 22)

Tokoh utama aliran realisme hukum Amerika Holmes, memiliki pemikiran yang dikenal dengan adagium “the life of law has been not logic but experience”. Makna adagium tersebut bahwa hukum itu tidak ditentukan oleh logika undang-undang, tetapi hukum adalah prediksi apa yang akan diputus oleh pengadilan (I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 166).

Menurut Hans Kelsen, nilai keadilan bersifat subjektif, sedangkan eksistensi dari nilai-nilai hukum dikondisikan oleh fakta-fakta yang dapat diuji secara objektif. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan penerapannya. Keadilan adalah penerapan hukum yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh suatu tata hukum. Dengan demikian keadilan berarti mempertahankan tata hukum secara sadar dalam penerapannya. Inilah keadilan berdasarkan hokum (I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 80).

Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas. Adalah adil jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus di mana menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan. Adalah tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain yang sama.Menurut legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adalah adil atau tidak adil berarti legal atau ilegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif. Keadilan menurut Hans Kelsen adalah legalitas, sehingga tolok ukur hukum yang adil adalah sah menurut hokum (I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 81).

Keadilan menurut hukum atau yang sering dimaksud dalam keadilan hukum (legal justice) adalah keadilan menurut undang-undang dan berkenaan dengan pemberian sanksi atas hasil penerapan undang-undang yang dilanggar. Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang telah melanggar keadilan tersebut, maka akan dikenakan hukuman lewat proses hukum (I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 87).

Hukum diciptakan agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga tatanan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri. Hukum mewujudkan sebuah nilai karena ia merupakan sebuah norma. Hukum mewujudkan tatanan nilai sekaligus nilai moral, dan itu hanya bermakna bilamana hukum dipandang sebagai sebuah norma (Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusa Media (Penerjemah : Raisul Mutaqien), Bandung, 2014, hlm. 75)

Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum (equality before the law). Hal ini didasarkan pada hakikat keadilan sendiri. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat dari Sudikno Mertokusumo yang menyatakan, hakikat keadilan adalah suatu penilaian dari seseorang kepada orang lain, yang umumnya dilihat dari pihak yang menerima perlakuan saja (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, 2007, hlm. 77).

Permasalahan hukum yang terjadi yang kemudian dituangkan dalam putusan hakim sehingga membawa pada satu perenungan bahwa terminologi keadilan yang notabene ada dalam kajian filsafat dapatkah dijadikan sebagai bagian utama dalam pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep keadilan yang bersifat abstrak sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat ilmu hukum yang akan menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis sehingga dapat membangun hukum yang sebenarnya. Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang bermartabat.

Alf Ross berpendapat bahwa ide keadilan itu itu sendiri terletak pada tuntutan bahwa putusan harus dihasilkan berdasarkan penerapan aturan umum. Keadilan adalah penerapan hukum dengan cara yang benar (I Dewa Gede Atmadja, hlm. 81). Hukum itu adil bila dapat mencerminkan keadilan bagi semua orang. Hakim dalam konteks ini tidak hanya menafsirkan sebuah perkara secara legal, tetapi juga apa yang baik bagi kemanusiaan.

Keadilan berdasarkan perundang-undangan didasarkan pada hukum yang tertulis dan ada dalam teks perundang-undangan. Memaknai keadilan memang selalu berawal dari keadilan sebagaimana juga tujuan hukum yang lain yaitu kepastian hukum dan kemanfaatan. Teori etis yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum semata-mata hanya untuk mewujudkan keadilan (justice) yang dimuat dalam teori tujuan hukum klasik sedangkan dalam teori normatif yuridis yaitu tujuan hukum untuk menciptakan kepastian hukum. (Ahmad Rifai, hlm. 10)

Adanya tujuan hukum tersebut, di samping keadilan menjadi salah satu dari dibuatnya teks hukum maka tujuan hukum pun menjadi dasar yang menjadi acuan bagi seorang hakim dalam menetapkan putusannya. Hakim secara formal meletakkan dasar pertimbangan hukumnya berdasarkan teks undang-undang (legal formal) dan keadilan menjadi harapan dari putusan tersebut. Akan tetapi kemudian yang terjadi adalah makna keadilan ini menjadi sempit manakala salah satu pihak menganggap bahwa putusan hakim itu menjad tidak adil baginya dan hal ini yang kemudian membawa pada pemikiran bahwa selalu terjadi disparitas antara keadilan dan ketidakadilan.

Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum mempunyai tugas sebagai salah satu penentu suatu perkara dari pihak-pihak yang bersengketa. Hakim dalam proses pengambilan keputusan harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun. Hakim dalam mengambil keputusan hanya terikat pada peristiwa atau fakta-fakta yang relevan dan kaidah-kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis. Mewujudkan putusan hakim yang didasarkan pada tuntutan keadilan memang tidak mudah, sebab konsep keadilan dalam putusan hakim tidak mudah mencari tolok ukurnya. Penulis sependapat dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa ukuran keadilan bahwa seseorang tidak boleh melanggar hukum yaitu hukum harus diikuti dan seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya yang berarti persamaan hak (equal).

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Hukum itu harus berlaku, dan dilaksanakan dengan cara tidak boleh menyimpang. Dengan cara demikian, maka ada kepastian hukum dan kepastian hukum akan menciptakan tertib masyarakat, karena menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo tujuan hukum adalah menciptakan kepastian hukum demi ketertiban masyarakat (Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm.1).

Demi kepastian hukum itulah maka ada yang berpendapat menegakkan hukum sama artinya dengan menegakkan undang-undang. Pendapat ini dipengaruhi oleh pandangan bahwa hukum tidak lain dari rangkaian norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan.

Pandangan tentang hukum yang demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo menjadi bersifat optik perskriptif, yaitu memandang hukum hanya sebagai sistem kaidah yang penganalisisnya terlepas dari landasan kemasyarakatannya. Ilmu hukum hanya dipandang sebagai sebuah norma untuk menghasilkan pola problem solving yang hanya menciptakan kemahiran sebagai ahli-ahli hukum yang mahir menafsirkan dan menerapkan hukum positif (Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan IImu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan IImu Hukum, Alumin, bandung, 1977, hlm. 35)

Pandangan positivisme hukum dapat dirasakan sangat berpengaruh terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum, karena Hakim  sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada saat melaksanakan fungsi yudisialnya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Hakim dalam mencari dan menerapkan hukum pada undang-undang dalam peristiwa konkrit yang telah dibuktikan adanya dalam proses peradilan meskipun ketentuan hukum yang terdapat dalam pasal undang-undang yang diterapkan belum dapat memenuhi rasa keadilan dan nilai kemanfaatan.

Keadilan hanya dapat dapat muncul berdasarkan ketentuan hukum positif berupa undang undang yang ditentukan secara obyektif. Tata aturan ini adalah hukum positif. Inilah yang dapat menjadi objek ilmu, bukan hukum secara metafisik. Teori ini disebut the pure theory of law yang mempresentasikan hukum sebagaimana adanya tanpa mempertahankan dengan menyebutnya adil, atau menolaknya dengan menyebut tidak adil. Teori ini mencari hukum yang riil dan nyata, bukan hukum yang benar.

Menurut Hans Kelsen dalam buku I Dewa Gede Atmadja, nilai keadilan bersifat subjektif, sedangkan eksistensi dari nilai-nilai hukum dikondisikan oleh fakta-fakta yang dapat diuji secara objektif. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan penerapannya. Keadilan adalah penerapan hukum yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh suatu tata hukum. Keadilan berarti mempertahankan tata hukum secara sadar dalam penerapannya. Inilah keadilan berdasarkan hukum (I Dewa Gede Atmadja, hlm. 80)

Keadilan menurut hukum atau yang sering dimaksud dalam keadilan hukum (legal justice) adalah keadilan menurut undang-undang dan berkenaan dengan pemberian sanksi atas hasil penerapan undang-undang yang dilanggar. Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang telah melanggar keadilan tersebut, maka akan dikenakan hukuman lewat proses hukum.

Masyarakat mengharapkan ada kepastian hukum, karena dengan ada kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban hokum ((Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm.2).

Melalui penegakan hukum di dalam pengadilan pada prinsipnya putusan Hakim disamping dapat mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, juga harus mewujudkan hukum yang memenuhi rasa keadilan. Konsekuensinya kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan Hakim harus dimaknai dan diimplementasikan untuk mewujudkan cita hukum yang berintikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Proses yudisial di dalam persidangan, pada saat menerapkan undang-undang dalam kasus konkrit yang diperiksa dan diadili, Hakim harus dapat mendekatkan atau menjembatani antara legal justice dengan moral justice, sehingga dalam proses peradilan tersebut keadilan dapat diwujudkan. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan Hakim harus diarahkan sesuai tujuan utamanya dalam proses peradilan, yakni mengadili sengketa atau perkara. Makna mengadili berarti memberi adil atau keadilan.

Putusan Hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan sama artinya dengan tidak bermanfaat bagi pencari keadilan, karena tujuan yang diharapkan oleh pencari keadilan dalam beracara di pengadilan selain agar hukum dapat ditegakkan dan dengan cara itu keadilan dapat diwujudkan, namun jika oleh karena hal-hal tertentu putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan, maka tidak akan ada manfaatnya atau gunanya bagi pihak yang bersengketa.

Putusan Hakim bertujuan memberikan keadilan maka penegakan hukum disamping untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap masyarakat sehingga ada ketertiban hukum, juga harus dapat mewujudkan keadilan. Oleh karenanya dalam penegakannya sensitivitas Hakim terhadap rasa keadilan harus dipergunakan agar dapat menjembatani antara kepastian hukum dengan rasa keadilan tersebut.

Hans Kelsen mengemukakan pendapatnya tentang keadilan dalam bukunya general theory of law and state. Hans Kelsen berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya (Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011, hlm.7).

Pandangan Hans Kelsen ini menyatakan bahwa nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum, namun pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu.

Pengertian keadilan menurut Hans Kelsen bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah adil jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.

Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat dalam peraturan hukum tersebut (UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan).

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu.


Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Kondisi yang serasi dan seimbang antara sifat keadilan yang bersifat umum dan keadilan-keadilan yang bersifat khusus menjadi ukuran rasa keadilan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya para pencari keadilan.

TEORI PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM

Hakim bebas memutus perkara pidana yang ditanganinya. Masalah kebebasan hakim juga menjadi faktor yang dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan dalam pemidanaan. Di Indonesia asas kebebasan hakim dijamin sepenuhnya dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimanadirumuskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kebebasan hakim dalam menjatuhkan sanksi bukanlah tanpa batas, karena tiada pidana tanpa undang-undang. Hakim hanya dapat memutuskan sanksi pidana berdasarkan jenis dan berat sanksi sesuai dengan takaran yang ditentukan dalam undang-undang. Hal ini sebagaimana tertuang dalam asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 KUHP.

Hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang yang didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Putusan hakim selain mendasarkan adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan oleh keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani (Ahmad Rifai). Ada suatu ungkapan yang berbunyi summum ius summa injuria, yang berarti makin lengkap, rinci, atau ketat peraturan hukumnya, maka keadilannya makin terdesak atau ditinggalkan, sehingga keadilan harus didahulukan dari kepastian hukum (Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 24)

Bunyi titel eksekutorial setiap putusan pengadilan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hakim harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam sebuah putusan, keadilan harus di atas segalanya termasuk di atas kepastian hukum. Keadilan harus dijadikan dasar analisis dalam setiap bagian putusan.

Putusan hakim yang ideal adalah apabila mengandung unsur-unsur Gerechtigkeit (keadilan), Zweckmassigkeit (kemanfaatan), dan Rechtssicherheit (kepastian hukum) secara proporsional. Suatu putusan hakim harus adil, tetapi harus pula bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun masyarakat, dan terjamin kepastian hukumnya (Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 24). Sebuah putusan diharapkan dapat memberikan kepuasaan pada semua pihak dalam suatu perkara, dengan memberikan alasan-alasan atau pertimbangan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana (Erna Dewi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Dinamika dan Perkembangan),Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, hlm. 64). Kekuasaan kehakiman dalam arti luas, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan mengadili”, tetapi mencakup kekuasaan menegakan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum (Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit : Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 34)

Kebebasan hakim secara  kontekstual  memilik   (tiga esensi  dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu (Ahmad Rifai, hlm. 104) :

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
c. idak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati, sehingga tidak ada pihak manapun yang dapat melakukan intervensi terhadap putusan hakim.

Menurut Barda Nawawi Arief, Hakim dalam mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan dapat mempertimbangkan beberapa aspek yaitu (Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23) :

1. Kesalahan pelaku tindak pidana
2. Motif dan tuhuan dilakukannya suatu tindak pidana
3. Cara melakukan tindak pidana
4. Sikap batik pelaku tindak pidana
5. Riwayat hidup dan sosial ekonomi
6. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum), kebenaran filosofis (keadilan) dan sosiologis (kemasyarakatan). Seorang Hakim harus membuat keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan dampak hukum dan dampak yang terjadi dalam masyarakat.

Penjatuhan hukuman terhadap pelaku harus melihat kepada kesalahan yang dilakukan. Hal ini berdasarkan asas kesalahan. Menurut Barda Nawawi Arief, syarat pemidanaan dalam suatu putusan bertolak dari dua pilar yang sangat fundamental yaitu asas legalitas (merupakan asas kemasyarakatan) dan asas kesalahan (merupakan asas kemanusiaan) (Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: Kencana, Jakarta, 2014. hlm. 94)

Pasal 55 (1) Rancangan KUHP memuat 11 daftar pengecekan yang harus dipertimbangkan hakim sebelum menjatuhkan pidana, yaitu (Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Pustaka Magister, Semarang, 2012, hlm.49) :

1.    Kesalahan pembuat tindak pidana
2.    Motif dan tujuan melakukan tindak pidana
3.    Sikap batin pembuat tindak pidana
4.    Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana
5.    Cara melakukan tindak pidana
6.    Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
7.    Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana
8.    Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana
9.    Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
10.    Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya
11.    Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan

Daftar pengecekan yang harus dipertimbangkan hakim tersebut diharapkan dapat memudahkan hakim dalam menetapkan takaran atau ukuran berat ringannya pidana (strafmaat). Daftar pertimbangan tersebut masih dapat ditambahkan sendiri oleh hakim, jadi tidak bersifat limitatif. Ide yang melatarbelakangi adanya pedoman ini untuk menghindari adanya disparitas pidana.

Aspek kesalahan menempati urutan pertama karena dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbutatan pidana adalah norma yang tidak tertulis, yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 24)

Menurut Moeljatno, terhadap perbuatannya itu, ada juga dasar pokok yaitu asas legalitas (principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.

Seseorang dinyatakan melakukan tindak pidana apabila seseorang melakukan tindak pidana dan memang mempunyai kesalahan sehingga menjadi dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas umum yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana ialah asas tiada pidana tanpa kesalahan kesalahan” (asas culpabilitas) yang merupakan asas kemanusiaan dan sebagai pasangan dari asas legalitas yang merupakan asas kemasyarakatan (Barda Nawawi Arief, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2014, hlm. 47)

Seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, pertama harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum sebagai unsur Objektif, dan kedua terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai unsur subjektif.

Seseorang dijatuhkan pidana tentu tidak cukup dilihat apakah orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Hal ini tergantung “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan,yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban hukum pidana yaitu “Tidak di pidana jika tidak ada kesalahan”.

Suatu perbuatan hanya dapat dipersalahkan, jika ia pada saat melakukan perbuatan itu, menghendaki akibat yang disebabkannya atau setidak-tidaknya akibat itu dapat diketahuinya terlebih dahulu. Jika pelaku pidana menghendaki akibatnya, maka kehendak itu disebut sengaja, yang dapat diketahuinya terlebih dahulu, maka terdapatlah kesalahan (Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 329)

Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi, bukan hanya rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Apabila kita kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materil. Bahkan tujuan hukum acara pidana dalam mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara, sebab ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum adalah mencapai suatu masyarakat yang tertib, damai, adil dan sejahtera

Pemahaman atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak lepas dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukaan oleh John Locke dan Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan kekuasaan kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.

Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma hukum dalam peraturan perundangan yang berlaku yang dilakukan oleh hakim melalui putusannya.

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya,dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, selain adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integitas moral yang baik.

Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.

Pedoman pemberian pidana dapat memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal tersebut penjatuhan pidana dapat diberikan secara lebih proporsional sehingga dapat dipahami mengapa pidana diberikan seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim (Intan Nurina, Eddy Rifai dan Firganefi, Disparitas Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jurnal Praevia, Vol. 7 No. 1 Januari – Juni, 2013, hlm.112)

Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya pada diri sendiri, jujurkah ia dalam mengambil putusan ini, atau sudah tepatkan putusan yang diambilnya itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah putusan ini atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang dijatuhkan oleh seorang hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat pada umumnya.

Adapun jenis-jenis putusan akhir Hakim dalam perkara pidana sebagai berikut :

a. Putusan Bebas (Vrijspraak)
Putusan bebas (Vrijspraak) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan, ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan, tidak ditemukannya adanya bukti yang cukup yang menyatakan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka kepada terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan besalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, sehingga oleh karena itu terhadap terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari segala dakwaan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag van Alle Recht Vervolging)
Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.

c.  Putusan Pemidanaan
Terdakwa yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

Untuk menjamin keadilan dan kepuasan para pihak yang berperkara, maja undang-undang memberikan kesempatan dengan menempuh upaya hukum atas Putusan Pengadilan. Pengertian upaya hukum tercantum dalam Bab I KUHAP mengenai ketentuan umum tepatnya pada Pasal 1 butir 12, upaya hukum diartikan sebagai hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi. Jadi apabila terdakwa atau penuntut umum menganggap keputusan hakim kurang tepat atau tidak adil maka dapat mengajukan upaya hukum.

Menurut  pandanga doktrin, upaya hukum pada pokoknya bermaksud sebagai berikut (Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 235:

1. Diperoleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan
2. Melindungi tersangka dari tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hakim
3. Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam jalannya peradilan
4. Usaha dari para pihak baik terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-keterangan baru

Dapat  disimpulkan  bahwa  upaya  hukum  merupakan  suatu sarana  baik  bagi  pihak terdakwa maupun  penuntut  umum  untuk mencari putusan yang dirasa adil bagi mereka. Sehingga dalam upaya hukum inilah kedua belah pihak akan kembali menguatkan argumentasi hukum mereka untuk mendapatkan putusan seadil-adilnya bagi mereka.
www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com