https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-3309919219570739/home ASAS PERLEKATAN DAN ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL DALAM HUKUM PERTANAHAN ~ INDONESIAN LAW (THEORY AND PRACTICE)

May 20, 2017

ASAS PERLEKATAN DAN ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL DALAM HUKUM PERTANAHAN

Hukum pertanahan mengenal dua macam asas mengenai tanah yang memberikan pengaruh dalam bentuk kewenangan dan kepemilikan tanah. Asas pertama dikenal sebagai asas perlekatan (acessie) yang berarti tanah tidak hanya terbatas pada permukaan bumi saja tetapi juga apa yang berada di bawah dan diatasnya karena seluruhnya adalah satu kesatuan yang melekat dan tidak dapat dipisahkan (Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2003, hlm.20)

Pemilik hak atas tanah diberikan kewenangan yang sejalan dengan pengertian tersebut, kewenangan dan kepemilikan hak atas tanah bukan hanya sebatas permukaan tanah saja melainkan juga yang terkandung di bawahnya pula yang melekat dan berdiri di atasnya.

Asas yang kedua adalah asas pemisahan horizontal. Dalam asas ini, pengertian tanah hanya meliputi permukaan tanah saja sehingga apa yang melekat atau berdiri di atasnya dan apa yang terkandung di bawahnya bukanlah satu kesatuan melainkan bentuk-bentuk yang terpisah (Boedi Harsono, hlm.20)

Pemegang hak atas tanah hanya menguasai sebatas permukaan tanahnya saja sedangkan bangunan atau apapun yang melekat di atas tanah tersebut berbeda hak kepemilikannya dan hal ini membuka kemungkinan bahwa pemegang hak atas benda yang melekat di atas tanah berbeda dengan yang memegang hak atas tanah.

Segala sesuatu seperti tanaman atau bangunan yang berdiri di atas tanah apabila merujuk pada KUHPerdata, maka segala tanaman atau bangunan itu menjadi bagian dari tanahnya karena berlaku asas perlekatan menurut Pasal 500 dan Pasal 506 KUHPerdata.

Hal ini menjadi berbeda apabila merujuk pada hukum pertanahan yang tertuang dalam UUPA bahwa yang berlaku adalah asas pemisahan horizontal, yaitu pemisahan antara tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atasnya. Dalam hal ini berlaku bahwa pihak yang menanam tanaman atau membangun bangunan adalah sebagai pemilik dari tanaman atau bangunan tersebut.

Dengan adanya asas pemisahan horizontal bahwa seseorang yang memilki tanah belum tentu memiliki segala sesuatu di atas tanah tersebut. Pemilik tanah tidak boleh beranggapan bahwa tanaman atau bangunan yang ada di atas tanah itu dengan sendirinya menjadi milik pemilik tanah.

Sejarah tanah dan hak atas segala sesuatu di atasnya, tidak terlepas pengaturan hukum pertanahan sebelum tahun 1960, Indonesia memiliki dualisme di bidang hukum pertanahan sebagai warisan dari zaman penjajahan Belanda.

Pada masa itu, terdapat pembagian golongan yang didasarkan pada pembagian golongan kependudukan. Golongan Eropa dan Timur Asing tunduk pada ketentuan Buku II BW yang berisi tentang hukum benda, yang dalam pengaturannya menggunakan asas perlekatan (acessie) seperti yang diatur dalam Pasal 500, Pasal 506 dan Pasal 507 BW, sedangkan golongan pribumi diberlakukan hukum adat yang memberlakukan asas pemisahan horizontal (Soepomo, Sejarah Politik Hukum Adat, Jakarta, Djambatan, 1964, hlm. 85)

Asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum adat inilah yang kemudian diadopsi dalam hukum pertanahan Indonesia yang diwujudkan dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan pokok Agraria yang kemudian disebut sebagai Undang Undang Pokok Agraria (Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan (Antara Regulasi dan Implementasi), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 28)

Asas dalam hukum pertanahan yang mengalami perubahan dalam pengaturannya, setelah lahirnya UUPA khususnya mengenai asas perlekatan vertikal dan asas pemisahan horizontal. Asas perlekatan vertikal, yang mengatur bahwa setiap kepemilikan bidang tanah secara otomatis membuktikan pula kepemilikan atas segala sesuatu yang berada di atasnya, seperti bangunan, pohon dan sebagainya. Asas ini dianut dalam Buku II KUHPerdata mengatur bahwa bukti kepemilikan atas tanah sekaligus menjadi bukti kepemilikan atas segala sesuatu yang ada di atasnya, sampai saatnya lahir UUPA. Asas perlekatan vertikal berubah menjadi asas pemisahan horizontal yaitu asas yang memisahkan kepemilikan atas tanah dengan segala sesuatu yang ada di atasnya, dengan demikian bukti hak atas tanah tidak serta merta menjadi bukti kepemilikan segala sesuatu yang ada diatas tanah.

Pembentukan UUPA juga merupakan unifikasi di bidang hukum agraria yang mengakhiri dualisme dalam hukum pertanahan dengan menetapkan hukum adat sebagai dasar dari pembentukan hukum pertanahan di Indonesia yang terkandung dalam Pasal 5 UUPA yang berbunyi :

Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan  yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Hukum adat dipilih sebagai dasar dari pengaturan hukum pertanahan Indonesia karena Hukum Adat yang merupakan hukum asli dari rakyat Indonesia hidup dan terbentuk dari perkembangan masyarakat asli Indonesia (Maria S. Sumardjono, Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial, dan budaya, Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 58)

Sesuai ketentuan Pasal 5 UUPA tersebut di atas, dapat diketahui bahwa hukum adat yang berlaku dalam UUPA bukanlah hukum adat yang murni melainkan hukum adat yang tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang tercantum dalam UUPA dan peraturan perundangan lainnya.

UUPA menentukan bahwa asas yang digunakan dalam hukum pertanahan di Indonesia adalah asas pemisahan horizontal dalam Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi  wewenang  untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian  pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Asas pemisahan horizontal adalah asas yang membagi, membatasi, dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal (Boedi Harsono, Hukum Agraria Di Indonesia; Sejarah Dan Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria; Isi Dan Pelaksanaannya, Djembatan, Jakart, 1997 hlm.50).

Pemberlakuan asas pemisahan horizontal di dalam hukum pertanahan Indonesia memberikan pemisahan antara kepemilikan tanah dengan apa yang melekat di bawahnya dan berada diatasnya, hanya yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah saja yang dapat dimanfaatkan. Hal ini membatasi kewenangan pemilik hak atas tanah dalam memanfaatkan tanah yang dimilikinya, karena pemanfaatan apa yang terkandung di dalam tanah dan yang melekat di atasnya harus dapat dibuktikan bahwa memang dan hanya yang berkaitan dengan penggunaan tanah tersebut.

Hal ini sejalan dalam konteks penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perusakan tanam tumbuh yang dapat dikaitkan dengan kepemilikan hak atas tanah dan segala sesuatu diatasnya. Mahkamah Agung memutuskan bahwa dalam hal perusakan tanaman, berdasarkan hukum adat tidak mesti, bahwa pemilik tanah dengan sendirinya menjadi pemilik dari tanaman yang ada di atas tanah itu, ada kalanya pemilik tanah adalah orang lain daripada pemilik tanaman yang ada di atas tanah itu (Delik-Delik Tertentu di Dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 197).

0 komentar:

Post a Comment

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com