Fenomena non job semakin sering terjadi di kalangan aparatur sipil negara di daerah. Adanya Gubernur, Bupati dan Walikota selaku Pejabat Pembinan Kepegawaian yang melakukan rolling kepada sejumlah pejabat di daerahnya tanpa dasar yang jelas.
Sebagian orang menganggap fenomena non job sebagai hal yang lumrah, namun sebagian pihak berpandangan sebagai kebijakan yang salah. Non job bagi aparatur sipil yang berkinerja baik tanpa sebab merupakan perbuatan sewenang-wenang pemerintah. Satu sisi Pejabat berwenang menganggap rolling sebagai bentuk penyegaran, namun menjadi masalah bilamana kebijakan rolling mengandung Keputusan Non Job tanpa melalui prosedur yang sah. Bagaimana hukum kepegawaian memandang ini ?
Non Job Menurut
Hukum Kepegawaian
Istilah
non job tidak di atur dalam hukum kepegawaian. Hukum kepegawaian hanya mengatur
tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberhentikan dari Jabatan Struktural
sebagaimana di atur dalam PP No. 100 Tahun 2000 Jo. PP N0. 13 Tahun 2002.
Ketentuan ini mengatur secara rigid tentang tahapan panjang dalam
memberhentikan seorang PNS dari jabatan struktural alias Non Job.
Dalam
ketentuan tersebut, seorang PNS dapat diputuskan non job dengan syarat apabila
PNS tersebut mengundurkan diri dari jabatannya, mencapai batas usia pensiun,
diberhentikan dari PNS, diangkat dalam jabatan struktural lainnya, cuti diluar
tanggungan negara, tugas belajar lebih dari enam bulan, adanya perampingan
struktur/organisasi satuan kerja, dan tidak sehat jasmani dan rohani.
Hukum
kepegawaian hanya memperbolehkan mutasi jabatan dalam lingkup perpindahan
jabatan struktural dalam eselon yang sama, perpindahan jabatan ke eselon yang
lebih tinggi dan perpindahan jabatan dari jabatan struktural ke dalam jabatan
fungsional dengan status jabatan yang sama. Hukum kepegawaian secara tegas
melarang mutasi jabatan dengan serta merta mencopot jabatan struktural
seseorang.
Lebih
lanjut, dalam Ketentuan Hukum Disiplin Pegawai sebagaimana di atur dalam Pasal 7 Ayat 4 PP No. 53 Tahun 2010,
apabila istilah Non Job disamakan dengan istilah Pembebasan dari Jabatan maka pemberian
Non Job ini masuk dalam Kategori Hukuman Disiplin Berat. Mekanisme yang
ditempuh sejak awal harus masuk dalam jalur pemberian Sanksi Kedisiplinan PNS.
Ketentuan
tersebut mengatur tahapan sanksi kedisiplinan mulai dari pemanggilan secara
tertulis oleh atasan langsung atau oleh Tim Pemeriksa, selanjutnya dilakukan pemeriksaaan
secara tertutup yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan,
Pengumpulan Bukti dan Keterangan Saksi, apabila ditemukan pelanggaran dan
kesalahan baru dapat dijatuhkan sanksi kedisplinan.Sanksi yang dapat diberikan
pun secara berjenjang mulai dari hukuman ringan, sedang dan berat. Salah satu sanksi dalam hukuman berat
adalah pembebasan dari jabatan yang dapat disamakan dengan istilah saat ini
yaitu Non Job.
Non
Job adalah hukuman berat yang diberikan kepada PNS yang melakukan kesalahan dan
pelanggaran yang berat, misalnya terbukti tidak setia dan taat kepada Pancasila
dan UUD 1945, membocorkan rahasia jabatan, terbukti tidak memberikan pelayanan
publik yang baik kepada masyarakat, tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah
selama 41 sampai 45 hari
kerja, tidak mencapai sasaran kerja kurang dari 25 % sampai akhir tahun dan
lain sebagainya. Bagaimana apabila pejabat yang non job sama sekali tidak
melakukan kesalahan atau tidak sedang terkena sanksi kedisiplinan ?
Keputusan
Sewenang-Wenang dan Penyalahgunaan Wewenang Pemerintah
Apabila
seorang pejabat atau aparatur sipil negara di daerah yang Non Job namun pada
faktanya bahwa pejabat atau aparatur sipil negara dimaksud telah bekerja dengan
baik, memiliki disiplin dalam bekerja, sehat jasmani dan rohani, memiliki sikap
moral etik yang baik dan tidak sedang dijatuhi sanksi kedisplinan baik teguran
lisan, tertulis dan sanksi lainnya maka keputusan Non Job dimaksud menjadi
suatu Keputusan Sewenang-wenang dan tidak tepat aturan.
Apabila
keputusan non job dalam rangka penjatuhan sanksi kedisiplinan tentunya dapat
ditempuh upaya administratif berupa keberatan dan banding administratif. Namun bagaimana apabila pencopotan
jabatan tidak dalam rangka pemberian sanksi kedisplinan, maka sesuai ketentuan yang
berlaku, hal ini masuk dalam kategori Keputusan Sewenang-Wenang dan
Penyalahgunaan Wewenang Pemerintah.
Dalam UU UU No. 51 Tahun 2009 Jo. UU 9 Tahun 2004 Jo. UU 5 Tahun 1896
tentang PTUN, apabila seseorang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan TUN agar keputusan itu itu
dinyatakan batal atau tidak sah yang dapat disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau direhabilitasi. UU memberikan kesempatan selama 3 bulan kepada pihak yang dirugikan
untuk menempuh jalur ini.
Sudah
sepatutnya dalam
membuat suatu keputusan (beschikking)
pemerintah
bersikap cermat dan berprinsip kehati-hatian dalam mematuhi peraturan perundangan yang
ada, karena dapat berakibat
keputusan/tindakan pemerintah menjadi tidak
sah. Tidak sahnya
tindakan pemerintah tersebut pada akhirnya akan berakibat keputusan yang dibuat
cacat yuridis sehingga batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Keputusan
Non Job tanpa dasar pun dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum
apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik
secara prosedural, substansial dan dilakukan dengan cara menyalahgunakan
kewenangan bahkan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Lebih lanjut
dalam Pasal 53 Ayat 2 UU PTUN mengatur tentang perbuatan sewenang-wenang
pemerintah, karena peraturan perundangan secara rigid telah memberikan
kewenangan kepada Pejabat TUN dalam melaksanakan urusan kepegawaian.
Selain
upaya PTUN dimaksud, bagi Pejabat yang telah dirugikan haknya, dapat mengajukan
keberatan kepada Kepala Daerah secara tertulis dan bilamana tidak ditanggapi
dapat meneruskannya keberatannya kepada Komisi Aparatur Sipin Negara (KASN) di
Jakarta.
Penyalahgunaan
kekuasaan juga merupakan bentuk Tindak Pidana Kejahatan Jabatan yang di atur
dalam KUHP, lebih lagi menjurus pada unsur pencemaran nama baik bagi pejabat
non job yang dapat membuktikan tidak pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran
berat namun dicopot jabatannya. Dan upaya perdata berupa Perbuatan Melawan
Hukum (PMH) yaitu perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah
menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Pengembalian Jabatan dan Pemulihan Nama
Baik
Keputusan
Non Job tersebut juga menjadi tidak sejalan dengan manajemen penataan ASN sebagaimana
di atur dalam Pasal 1 Poin 22 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN bahwa penataan
PNS berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar
dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal
usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Namun terkadang, kekeliruan dalam pemberian Non
Job prinsipnya tidak sepenuhnya menjadi Kesalahan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
Walikota) sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, karena apabila masukan dari
bawah kepada Bupati salah maka dapat dipastikan Keputusan sang Pejabat menjadi
salah. Dan apabila hal ini yang terjadi, maka sudah selayaknya Kepala Daerah memberikan
sanksi kepada bawahannya yang telah memberikan masukan dan data yang salah.
Sudah selayaknya apabila hal ini terjadi maka bagi
Pejabat yang Non Job meminta jabatannya dikembalikan, bahkan menjadi sah apabila
Tim Kepegawaian meminta maaf atas tindakan yang tidak tepat aturan karena telah
mencemarkan nama baik dan menjadi beban moral serta merusak citra dan karir
jangka panjang seorang PNS.
Pada akhirnya, semua pihak berharap Pemerintah
Daerah dapat lebih profesional dalam melakukan penataan aparatur sipil negara
di daerah, sehingga dapat terciptanya abdi negara yang dapat bekerja secara
profesional dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat tanpa harus
terganggu oleh ketidakpastian kebijakan pejabat berwenang yang tidak tepat
dalam menerapkan aturan di bidang kepegawaian. Semoga.
0 komentar:
Post a Comment