Hukum pertanahan mengenal dua macam asas mengenai tanah
yang memberikan pengaruh dalam bentuk kewenangan dan kepemilikan tanah. Asas
pertama dikenal sebagai asas perlekatan (acessie) yang berarti tanah
tidak hanya terbatas pada permukaan bumi saja tetapi juga apa yang berada di
bawah dan diatasnya karena seluruhnya adalah satu kesatuan yang melekat dan
tidak dapat dipisahkan (Boedi Harsono, Hukum
Agraria Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2003, hlm.20)
Pemilik hak atas
tanah diberikan kewenangan yang sejalan dengan pengertian tersebut, kewenangan
dan kepemilikan hak atas tanah bukan hanya sebatas permukaan tanah saja
melainkan juga yang terkandung di bawahnya pula yang melekat dan berdiri di
atasnya.
Asas yang kedua
adalah asas pemisahan horizontal. Dalam asas ini, pengertian tanah hanya
meliputi permukaan tanah saja sehingga apa yang melekat atau berdiri di atasnya
dan apa yang terkandung di bawahnya bukanlah satu kesatuan melainkan
bentuk-bentuk yang terpisah (Boedi Harsono, hlm.20)
Pemegang hak
atas tanah hanya menguasai sebatas permukaan tanahnya saja sedangkan bangunan
atau apapun yang melekat di atas tanah tersebut berbeda hak kepemilikannya dan
hal ini membuka kemungkinan bahwa pemegang hak atas benda yang melekat di atas
tanah berbeda dengan yang memegang hak atas tanah.
Segala sesuatu seperti tanaman atau
bangunan yang berdiri di atas tanah apabila merujuk pada KUHPerdata, maka
segala tanaman atau bangunan itu menjadi bagian dari tanahnya karena berlaku asas
perlekatan menurut Pasal 500 dan Pasal 506 KUHPerdata.
Hal ini menjadi berbeda apabila
merujuk pada hukum pertanahan yang tertuang dalam UUPA bahwa yang berlaku
adalah asas pemisahan horizontal, yaitu pemisahan antara tanah dan segala
sesuatu yang berdiri di atasnya. Dalam hal ini berlaku bahwa pihak yang menanam
tanaman atau membangun bangunan adalah sebagai pemilik dari tanaman atau
bangunan tersebut.
Dengan adanya asas pemisahan
horizontal bahwa seseorang yang memilki tanah belum tentu memiliki segala
sesuatu di atas tanah tersebut. Pemilik tanah tidak boleh beranggapan bahwa
tanaman atau bangunan yang ada di atas tanah itu dengan sendirinya menjadi
milik pemilik tanah.
Sejarah
tanah dan hak atas segala sesuatu di atasnya, tidak terlepas pengaturan hukum
pertanahan sebelum tahun 1960, Indonesia memiliki dualisme di bidang hukum
pertanahan sebagai warisan dari zaman penjajahan Belanda.
Pada masa itu,
terdapat pembagian golongan yang didasarkan pada pembagian golongan
kependudukan. Golongan Eropa dan Timur Asing tunduk pada ketentuan Buku II BW
yang berisi tentang hukum benda, yang dalam pengaturannya menggunakan asas
perlekatan (acessie) seperti yang diatur dalam Pasal 500, Pasal 506 dan Pasal 507 BW,
sedangkan golongan pribumi diberlakukan hukum adat yang memberlakukan asas
pemisahan horizontal (Soepomo, Sejarah Politik Hukum Adat, Jakarta,
Djambatan, 1964, hlm. 85)
Asas pemisahan
horizontal yang dianut oleh hukum adat inilah yang kemudian diadopsi dalam
hukum pertanahan Indonesia yang diwujudkan dalam pembentukan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan pokok Agraria yang kemudian disebut
sebagai Undang Undang Pokok Agraria (Maria S.W.
Sumardjono, Kebijakan Pertanahan (Antara Regulasi dan Implementasi),
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 28)
Asas dalam hukum
pertanahan yang mengalami perubahan dalam pengaturannya, setelah lahirnya UUPA
khususnya mengenai asas perlekatan vertikal dan asas pemisahan horizontal. Asas
perlekatan vertikal, yang mengatur bahwa setiap kepemilikan bidang tanah secara
otomatis membuktikan pula kepemilikan atas segala sesuatu yang berada di
atasnya, seperti bangunan, pohon dan sebagainya. Asas ini dianut dalam Buku II
KUHPerdata mengatur bahwa bukti kepemilikan atas tanah sekaligus menjadi bukti
kepemilikan atas segala sesuatu yang ada di atasnya, sampai saatnya lahir UUPA.
Asas perlekatan vertikal berubah menjadi asas pemisahan horizontal yaitu asas
yang memisahkan kepemilikan atas tanah dengan segala sesuatu yang ada di
atasnya, dengan demikian bukti hak atas tanah tidak serta merta menjadi bukti
kepemilikan segala sesuatu yang ada diatas tanah.
Pembentukan UUPA
juga merupakan unifikasi di bidang hukum agraria yang mengakhiri dualisme dalam
hukum pertanahan dengan menetapkan hukum adat sebagai dasar dari pembentukan
hukum pertanahan di Indonesia yang terkandung dalam Pasal 5 UUPA yang berbunyi
:
Hukum Agraria
yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini
dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Hukum adat
dipilih sebagai dasar dari pengaturan hukum pertanahan Indonesia karena Hukum
Adat yang merupakan hukum asli dari rakyat Indonesia hidup dan terbentuk dari
perkembangan masyarakat asli Indonesia (Maria S.
Sumardjono, Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial, dan budaya,
Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 58)
Sesuai ketentuan
Pasal 5 UUPA tersebut di atas, dapat diketahui bahwa hukum adat yang berlaku
dalam UUPA bukanlah hukum adat yang murni melainkan hukum adat yang tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang tercantum dalam UUPA
dan peraturan perundangan lainnya.
UUPA menentukan
bahwa asas yang digunakan dalam hukum pertanahan di Indonesia adalah asas
pemisahan horizontal dalam Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi Hak-hak atas tanah
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan, demikian pula
tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.
Asas pemisahan
horizontal adalah asas yang membagi, membatasi, dan memisahkan pemilikan atas
sebidang tanah berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut
secara horizontal (Boedi Harsono, Hukum Agraria Di
Indonesia; Sejarah Dan Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria; Isi Dan
Pelaksanaannya, Djembatan, Jakart, 1997 hlm.50).
Pemberlakuan
asas pemisahan horizontal di dalam hukum pertanahan Indonesia memberikan
pemisahan antara kepemilikan tanah dengan apa yang melekat di bawahnya dan berada
diatasnya, hanya yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah saja yang
dapat dimanfaatkan. Hal ini membatasi kewenangan pemilik hak atas tanah dalam
memanfaatkan tanah yang dimilikinya, karena pemanfaatan apa yang terkandung di
dalam tanah dan yang melekat di atasnya harus dapat dibuktikan bahwa memang dan
hanya yang berkaitan dengan penggunaan tanah tersebut.
0 komentar:
Post a Comment