Problema bagi para pencari keadilan yang paling
sering menjadi diskursus adalah persoalan keadilan dalam kaitannya dengan
hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan perundangan yang
diterapkan dan diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang
menganggap hukum itu telah adil dan pandangan lainnya yang menganggap hukum itu
tidak adil.
Problema demikian sering ditemukan dalam kasus
konkrit, seperti dalam suatu perkara, seorang tidak adil terhadap putusan majelis
hakim dan sebaliknya majelis hakim merasa dengan keyakinanya putusan itu telah
adil karena putusan itu telah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum
yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Sinar
Grafika, , 1996, hlm. 251).
Definisi keadilan dapat
dipahami sebagai suatu nilai (value)
yang digunakan untuk menciptakan
hubungan yang seimbang antar manusia dengan
memberikan apa yang menjadi hak seseorang dengan prosedur
dan bila terdapat pelanggaran
terkait keadilan maka seseorang perlu diberikan
hukuman.
Pengertian adil menurut kamus besar Bahasa
Indonesia yaitu sikap yang berpihak pada yang benar, tidak memihak salah satunya atau tidak berat
sebelah. Keadilan adalah suatu tuntutan sikap dan sifat yang seimbang antara
hak dan kewajiban. Salah satu asas dalam hukum yang mencerminkan keadilan yaitu
asas equality before the
law yaitu asas yang menyatakan bahwa semua orang sama kedudukannya dalam
hukum.
Kata justice
memiliki kesamaan dengan kata equity yaitu keadilan, yang
dapat diartikan sebagai berikut (Munir
Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 91):
a. Keadilan (justice), tidak memihak (impartial),memberikan setiap orang haknya (his
due)
b. Segala sesuatu layak (fair), atau adil (equitable)
c. Prinsip umum tentang kelayakan (fairness) dan keadilan (justice)
dalam hal hukum yang berlaku
Menurut Aristoteles (filosof Yunani)
dalam teorinya menyatakan bahwa ukuran keadilan
adalah (Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 93):
a. Seseorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti sesuai hukum atau (lawfull), yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan
aturan hukum harus diikuti
b.
Seseorang
tidak boleh mengambil lebih dari haknya,
sehingga keadilan berarti persamaan hak (equal)
Pembagian keadilan menurut Aristoteles dalam bukunya Etika, membagi keadilan kedalam dua golongan yaitu (Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 109):
a. Keadilan distributif, yakni keseimbangan antara apa yang didapati (he gets) oleh seseorang dengan apa yang patut didapatkan (he deserves).
b. Keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan mengkoreksi kejadian yang tidak adil, sebagai bentuk keseimbangan (equality) antara apa yang diberikan dengan apa yang diterimanya.
Keadilan korektif sebagai bentuk keadilan yang ditegakkan melalui suatu proses hukum dengan tujuan mengkoreksi suatu keadaan yang tidak adil yang telah terjadi, misalnya penjatuhan pidana dalam suatu perkara pidana.
a. Keadilan distributif, yakni keseimbangan antara apa yang didapati (he gets) oleh seseorang dengan apa yang patut didapatkan (he deserves).
b. Keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan mengkoreksi kejadian yang tidak adil, sebagai bentuk keseimbangan (equality) antara apa yang diberikan dengan apa yang diterimanya.
Keadilan korektif sebagai bentuk keadilan yang ditegakkan melalui suatu proses hukum dengan tujuan mengkoreksi suatu keadaan yang tidak adil yang telah terjadi, misalnya penjatuhan pidana dalam suatu perkara pidana.
Definisi keadilan dapat dipahami sebagai suatu nilai
(value) yang digunakan untuk menciptakan hubungan yang seimbang antar
manusia dengan memberikan apa yang menjadi hak seseorang dengan prosedur
dan bila terdapat pelanggaran
terkait keadilan maka seseorang perlu diberikan
hukuman.
Keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat
tertentu. Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan
sebanyak-banyaknya orang. Pemenuhan keadilan sehingga suatu keadaan layak disebut adil adalah
sesuatu yang sulit. Hal tersebut tidak dapat dijawab
berdasarkan pengetahuan rasional. Jawaban pertanyaan tersebut
adalah suatu pembenaran nilai. (Jimly Asshiddiqie, Teori Hans
Kelsen tentang Hukum,
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 18)
Kehidupan sehari-hari kita sering
mendengar pernyataan “kamu harus melakukan yang benar dan tidak melakukan yang
salah.” Tetapi apa yang dimaksud “benar” dan “salah”? Jawaban pertanyaan
tersebut diberikan oleh hukum positif. Mereka hendak mengungkapkan tata hukum
positif sebagai sesuatu yang adil, meskipun mungkin saja suatu aturan hukum positif
belum tentu menjadi adil.
Keadilan hanya dapat dapat muncul
berdasarkan ketentuan hukum positif berupa undang undang yang ditentukan secara
obyektif. Tata aturan ini adalah hukum positif. Inilah yang dapat menjadi objek
ilmu, bukan hukum secara metafisik. Teori ini disebut the pure theory of law
yang mempresentasikan hukum sebagaimana adanya tanpa mempertahankan dengan
menyebutnya adil, atau menolaknya dengan menyebut tidak adil. Teori ini mencari
hukum yang riil dan nyata, bukan hukum yang benar (Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 22)
Tokoh utama aliran
realisme hukum Amerika Holmes, memiliki pemikiran yang dikenal dengan adagium “the life of law has been not logic but
experience”. Makna adagium tersebut bahwa hukum itu tidak ditentukan oleh
logika undang-undang, tetapi hukum adalah prediksi apa yang akan diputus oleh
pengadilan (I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 166).
Menurut Hans Kelsen, nilai keadilan
bersifat subjektif, sedangkan eksistensi dari nilai-nilai hukum dikondisikan
oleh fakta-fakta yang dapat diuji secara objektif. Keadilan dalam arti
legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan
positif, tetapi dengan penerapannya. Keadilan adalah penerapan hukum yang
sesuai dengan yang ditetapkan oleh suatu tata hukum. Dengan demikian keadilan
berarti mempertahankan tata hukum secara sadar dalam penerapannya. Inilah
keadilan berdasarkan hokum (I Dewa Gede Atmadja, Filsafat
Hukum, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 80).
Keadilan dapat dimaknai sebagai
legalitas. Adalah adil jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus di mana
menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan. Adalah tidak adil
jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain yang
sama.Menurut legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adalah adil atau
tidak adil berarti legal atau ilegal, yaitu tindakan tersebut
sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian
dari tata hukum positif. Keadilan menurut Hans Kelsen adalah legalitas,
sehingga tolok ukur hukum yang adil adalah sah menurut hokum (I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum, Setara Press, Malang,
2013, hlm. 81).
Keadilan menurut hukum atau
yang sering dimaksud dalam keadilan hukum
(legal
justice) adalah keadilan menurut
undang-undang dan berkenaan dengan pemberian sanksi atas hasil penerapan
undang-undang yang dilanggar. Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang telah melanggar keadilan tersebut, maka akan dikenakan hukuman lewat proses hukum (I Dewa Gede Atmadja, Filsafat
Hukum, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 87).
Hukum diciptakan agar setiap individu
anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tindakan yang
diperlukan untuk menjaga tatanan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama
atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan
keadilan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat
pelanggaran itu sendiri. Hukum mewujudkan sebuah nilai karena ia merupakan sebuah
norma. Hukum mewujudkan tatanan nilai sekaligus nilai moral, dan itu hanya
bermakna bilamana hukum dipandang sebagai sebuah norma (Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusa Media
(Penerjemah : Raisul Mutaqien), Bandung, 2014, hlm. 75)
Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan
sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di
muka hukum (equality before the law). Hal ini didasarkan pada hakikat keadilan
sendiri. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat dari Sudikno Mertokusumo
yang menyatakan, hakikat keadilan adalah suatu penilaian dari seseorang kepada
orang lain, yang umumnya dilihat dari pihak yang menerima perlakuan saja (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, 2007, hlm. 77).
Permasalahan hukum yang terjadi yang
kemudian dituangkan dalam putusan hakim sehingga membawa pada satu perenungan
bahwa terminologi keadilan yang notabene ada dalam kajian filsafat dapatkah
dijadikan sebagai bagian utama dalam pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep
keadilan yang bersifat abstrak sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat
ilmu hukum yang akan menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis sehingga
dapat membangun hukum yang sebenarnya. Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum
positif yang bermartabat.
Alf Ross berpendapat
bahwa ide keadilan itu itu sendiri terletak pada tuntutan bahwa putusan harus
dihasilkan berdasarkan penerapan aturan umum. Keadilan adalah penerapan hukum
dengan cara yang benar (I Dewa Gede Atmadja, hlm. 81). Hukum itu adil bila dapat mencerminkan
keadilan bagi semua orang. Hakim dalam konteks ini tidak hanya menafsirkan
sebuah perkara secara legal, tetapi juga apa yang baik bagi kemanusiaan.
Keadilan berdasarkan perundang-undangan
didasarkan pada hukum yang tertulis dan ada dalam teks perundang-undangan. Memaknai
keadilan memang selalu berawal dari keadilan sebagaimana juga tujuan hukum yang
lain yaitu kepastian hukum dan kemanfaatan. Teori etis yang menganggap bahwa
pada prinsipnya tujuan hukum semata-mata hanya untuk mewujudkan keadilan (justice)
yang dimuat dalam teori tujuan hukum klasik sedangkan dalam teori normatif
yuridis yaitu tujuan hukum untuk menciptakan kepastian hukum. (Ahmad Rifai, hlm. 10)
Adanya tujuan hukum tersebut, di samping keadilan menjadi salah satu
dari dibuatnya teks hukum maka tujuan hukum pun menjadi dasar yang menjadi
acuan bagi seorang hakim dalam menetapkan putusannya. Hakim secara formal
meletakkan dasar pertimbangan hukumnya berdasarkan teks undang-undang (legal
formal) dan keadilan menjadi harapan dari putusan tersebut. Akan tetapi
kemudian yang terjadi adalah makna keadilan ini menjadi sempit manakala salah
satu pihak menganggap bahwa putusan hakim itu menjad tidak adil baginya dan hal
ini yang kemudian membawa pada pemikiran bahwa selalu terjadi disparitas antara
keadilan dan ketidakadilan.
Hakim sebagai salah satu aparat penegak
hukum mempunyai tugas sebagai salah satu penentu suatu perkara dari pihak-pihak
yang bersengketa. Hakim dalam proses pengambilan keputusan harus mandiri dan bebas
dari pengaruh pihak manapun. Hakim dalam mengambil keputusan hanya terikat pada
peristiwa atau fakta-fakta yang relevan dan kaidah-kaidah hukum yang menjadi
atau dijadikan landasan yuridis. Mewujudkan putusan hakim yang didasarkan pada tuntutan
keadilan memang tidak mudah, sebab konsep keadilan dalam putusan hakim tidak
mudah mencari tolok ukurnya. Penulis sependapat dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa ukuran keadilan bahwa seseorang tidak boleh melanggar hukum yaitu hukum harus diikuti dan
seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya yang berarti persamaan hak (equal).
Hukum
harus dilaksanakan dan ditegakkan. Hukum itu harus berlaku, dan dilaksanakan
dengan cara tidak boleh menyimpang. Dengan cara demikian, maka ada kepastian
hukum dan kepastian hukum akan menciptakan tertib masyarakat, karena menurut
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo tujuan hukum adalah menciptakan kepastian
hukum demi ketertiban masyarakat (Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab
Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm.1).
Demi kepastian hukum itulah maka ada yang
berpendapat menegakkan hukum sama artinya dengan menegakkan undang-undang.
Pendapat ini dipengaruhi oleh pandangan bahwa hukum tidak lain dari rangkaian
norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan.
Pandangan tentang hukum yang demikian itu,
menurut Satjipto Rahardjo menjadi bersifat optik perskriptif, yaitu memandang
hukum hanya sebagai sistem kaidah yang penganalisisnya terlepas dari landasan
kemasyarakatannya. Ilmu hukum hanya dipandang sebagai sebuah norma untuk
menghasilkan pola problem solving
yang hanya menciptakan kemahiran sebagai ahli-ahli hukum yang mahir menafsirkan
dan menerapkan hukum positif (Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan
IImu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan IImu Hukum, Alumin, bandung, 1977, hlm.
35)
Pandangan positivisme hukum dapat dirasakan
sangat berpengaruh terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menegakkan
hukum, karena Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada saat melaksanakan
fungsi yudisialnya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Hakim dalam mencari dan menerapkan hukum pada
undang-undang dalam peristiwa konkrit yang telah dibuktikan adanya dalam proses
peradilan meskipun ketentuan hukum yang terdapat dalam pasal undang-undang yang
diterapkan belum dapat memenuhi rasa keadilan dan nilai kemanfaatan.
Keadilan hanya dapat dapat muncul
berdasarkan ketentuan hukum positif berupa undang undang yang ditentukan secara
obyektif. Tata aturan ini adalah hukum positif. Inilah yang dapat menjadi objek
ilmu, bukan hukum secara metafisik. Teori ini disebut the pure theory of law
yang mempresentasikan hukum sebagaimana adanya tanpa mempertahankan dengan
menyebutnya adil, atau menolaknya dengan menyebut tidak adil. Teori ini mencari
hukum yang riil dan nyata, bukan hukum yang benar.
Menurut Hans Kelsen dalam buku I Dewa
Gede Atmadja, nilai keadilan bersifat subjektif, sedangkan eksistensi dari
nilai-nilai hukum dikondisikan oleh fakta-fakta yang dapat diuji secara
objektif. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak
berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan penerapannya.
Keadilan adalah penerapan hukum yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh suatu
tata hukum. Keadilan berarti mempertahankan tata hukum secara sadar dalam
penerapannya. Inilah keadilan berdasarkan hukum (I Dewa Gede Atmadja, hlm. 80)
Keadilan
menurut hukum atau
yang sering dimaksud dalam keadilan hukum
(legal
justice) adalah keadilan menurut
undang-undang dan berkenaan dengan pemberian sanksi atas hasil penerapan
undang-undang yang dilanggar. Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang telah melanggar keadilan tersebut, maka akan dikenakan hukuman lewat proses hukum.
Masyarakat
mengharapkan ada kepastian hukum, karena dengan ada kepastian hukum masyarakat
akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan
ketertiban hokum ((Sudikno
Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang
Penemuan Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm.2).
Melalui penegakan hukum di dalam pengadilan pada
prinsipnya putusan Hakim disamping dapat mewujudkan ketertiban dan kepastian
hukum, juga harus mewujudkan hukum yang memenuhi rasa keadilan. Konsekuensinya
kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan Hakim harus dimaknai dan
diimplementasikan untuk mewujudkan cita hukum yang berintikan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum.
Proses yudisial di dalam persidangan, pada saat
menerapkan undang-undang dalam kasus konkrit yang diperiksa dan diadili, Hakim
harus dapat mendekatkan atau menjembatani antara legal justice dengan moral
justice, sehingga dalam proses peradilan tersebut keadilan dapat
diwujudkan. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan Hakim harus diarahkan
sesuai tujuan utamanya dalam proses peradilan, yakni mengadili sengketa atau
perkara. Makna mengadili berarti memberi adil atau keadilan.
Putusan Hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan
sama artinya dengan tidak bermanfaat bagi pencari keadilan, karena tujuan yang
diharapkan oleh pencari keadilan dalam beracara di pengadilan selain agar hukum
dapat ditegakkan dan dengan cara itu keadilan dapat diwujudkan, namun jika oleh
karena hal-hal tertentu putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan, maka tidak
akan ada manfaatnya atau gunanya bagi pihak yang bersengketa.
Putusan Hakim bertujuan memberikan keadilan
maka penegakan hukum disamping untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap
masyarakat sehingga ada ketertiban hukum, juga harus dapat mewujudkan keadilan.
Oleh karenanya dalam penegakannya sensitivitas Hakim terhadap rasa keadilan
harus dipergunakan agar dapat menjembatani antara kepastian hukum dengan rasa
keadilan tersebut.
Hans Kelsen mengemukakan pendapatnya tentang
keadilan dalam bukunya general theory of law and state. Hans Kelsen
berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila
dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat
menemukan kebahagian didalamnya (Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh
Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011, hlm.7).
Pandangan Hans Kelsen ini menyatakan bahwa nilai-nilai
keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir
nilai-nilai umum, namun pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan
tiap individu.
Pengertian keadilan menurut Hans
Kelsen bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah adil jika ia
bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah tidak adil
jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang
serupa.
Konsep keadilan dan legalitas inilah
yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa
peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum bagi peraturan
peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan
hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat dalam peraturan
hukum tersebut (UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan).
Pandangan keadilan dalam hukum
nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana
sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan
dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering
dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama halnya
dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan,
khususnya orang yang dihakimi itu.
Hukum nasional hanya mengatur
keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum
nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan
yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Kondisi yang serasi dan seimbang antara sifat keadilan yang bersifat
umum dan keadilan-keadilan yang bersifat khusus menjadi ukuran rasa keadilan
yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya para pencari keadilan.