Tulisan ini termotivasi atas pertanyaan
seorang dosen ketika kuliah dulu “Bagaimana sistem pemerintahan daerah yang baik dalam
kerangka NKRI ? Apakah pelaksanaan otonomi daerah sekarang sudah tepat
?”
Secara spontan saat itu saya jawab De-Sentralisasi yang Sentralistik. Berarti anda penganut orde baru tanya dosen. Tidak, jawab saya. Tetapi ini salah satu pilihan solusi yang tepat dalam menghadapi otonomi daerah yang kebablasan.
Sejak reformasi bergulir, harapan akan kesejahterann semakin jauh diangan. Otonomi daerah diartikan sebagai perpindahan aliran dana dari pusat kedaerah. Atas dasar pemerataan pembangunan, daerah menginginkan kewenangan yang besar tanpa kontrol dari pusat. Alhasil, paska UU No. 22 tahun 1999, korupsi bermekaran didaerah, kemiskinan bertambah, kesejahteraan rakyat hanya mimpi disiang bolong. Otonomi daerah hanya menjadi angin segar bagi para koruptor daerah, alih-alih meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan daerah, seluruh sektor menjadi target empuk lahan korupsi.
Hingga 5 tahun berjalan, pusat akhirnya mengeluarkan UU No.32 tahun 2004 untuk membatasi daerah yang euoforia dengan segudang kewenangan barunya. Dan saat ini telah lahir UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang salah satunya memperkuat posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Dengan penguatan Pengawasan preventif dan represif atas pelaksaan APBD dan peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi, mau tidak mau harus diaktifkan. Banyak pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pusat, karena dianggap ‘mendzalimi’ cita-cita reformasi yaitu anti sentralistik. Tetapi tidak menurut saya. Inilah yang disebut De-Sentralisasi yang Sentralistik. Satu konsep sebagai win-win solution era otonomi daerah dalam bingkai NKRI. Mengutip pendapat Kuntowijoyo, bahwasanya birokrasi mengkehendaki penyeragaman. Oleh karena itu, sistem pemerintah daerah tidak boleh dipandang secara parsial, tetapi kesemuanya saling berhubungan (interkoneksi), saling bergantung (interdependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan cakupan kemanfaatan dan kesejahteraan rakyat.
Saya bukan penganut orde baru, dan tidak menginginkan Pemerintah Indonesia kembali Sentralistik. Kondisi ideal yang diharapkan adalah De-Sentralisasi murni yang dibangun diatas kesadaran penuh. Pertanyaannya, kapankah pemerintah dan elite didaerah dapat berjalan dengan sadar dan bertanggung jawab?. Ataukah sistem hukum yang kita anut masih rapuh, sehingga banyak celah bagi ‘oknum’ pejabat daerah dalam melakukan ‘transaksi’ yang merugikan rakyat. Pun jika sistem sudah baik tetapi tidak ada perubahan, maka apa salahnya Pemerintah Pusat secara tegas menarik kembali kewenangan daerah, paling tidak dibatasi untuk kebijakan yang bersifat fiskal, keuangan daerah ataupun penghambat perekonomian daerah. Saya rasa ini menjadi jalan yang halal demi kesejahteraan rakyat. Toh, ini tidak otoriter murni, tetapi semi otoritan. Kenapa harus anti perubahan, jangankan kebijakan politik atau ekonomi yang dapat dibongkar, otonomi daerah harus tetap di reformulasikan untuk mendapat racikan yang tepat dan cermat.
Cita-cita reformasi tentu tidak berhenti, tidak berakhir dengan kondisi yang ternyata semakin memburuk. Me-reformasi hasil reformasi yang tidak baik pun termasuk bagian dari reformasi. Tidak menjadi baik bila menganggap sistem mapan yang telah terbangun tidak dapat dirubah. Jangankan ‘desentrasliasi luas’ yang baru berumur tahunan, orde baru dan orde lama yang konon dianggap sudah mapan pada periodenya masih dapat dirobohkan. Atau sadar dan tidak, ternyata era terbaru saat ini, era reformasi (yang kini masuk jilid kedua) adalah penyumbang terbesar kesengsaraan rakyat Indonesia dalam sejarah.
Ingat, perubahan perlu sebuah kerja keras. Jika elite daerah tidak mau berubah, jangan salahkan Pemerintah Pusat akan menarik seluruh kewenangan daerah, sistem sentralisasi murni akan kembali berjaya. Bersambung…….
Secara spontan saat itu saya jawab De-Sentralisasi yang Sentralistik. Berarti anda penganut orde baru tanya dosen. Tidak, jawab saya. Tetapi ini salah satu pilihan solusi yang tepat dalam menghadapi otonomi daerah yang kebablasan.
Sejak reformasi bergulir, harapan akan kesejahterann semakin jauh diangan. Otonomi daerah diartikan sebagai perpindahan aliran dana dari pusat kedaerah. Atas dasar pemerataan pembangunan, daerah menginginkan kewenangan yang besar tanpa kontrol dari pusat. Alhasil, paska UU No. 22 tahun 1999, korupsi bermekaran didaerah, kemiskinan bertambah, kesejahteraan rakyat hanya mimpi disiang bolong. Otonomi daerah hanya menjadi angin segar bagi para koruptor daerah, alih-alih meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan daerah, seluruh sektor menjadi target empuk lahan korupsi.
Hingga 5 tahun berjalan, pusat akhirnya mengeluarkan UU No.32 tahun 2004 untuk membatasi daerah yang euoforia dengan segudang kewenangan barunya. Dan saat ini telah lahir UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang salah satunya memperkuat posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Dengan penguatan Pengawasan preventif dan represif atas pelaksaan APBD dan peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi, mau tidak mau harus diaktifkan. Banyak pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pusat, karena dianggap ‘mendzalimi’ cita-cita reformasi yaitu anti sentralistik. Tetapi tidak menurut saya. Inilah yang disebut De-Sentralisasi yang Sentralistik. Satu konsep sebagai win-win solution era otonomi daerah dalam bingkai NKRI. Mengutip pendapat Kuntowijoyo, bahwasanya birokrasi mengkehendaki penyeragaman. Oleh karena itu, sistem pemerintah daerah tidak boleh dipandang secara parsial, tetapi kesemuanya saling berhubungan (interkoneksi), saling bergantung (interdependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan cakupan kemanfaatan dan kesejahteraan rakyat.
Saya bukan penganut orde baru, dan tidak menginginkan Pemerintah Indonesia kembali Sentralistik. Kondisi ideal yang diharapkan adalah De-Sentralisasi murni yang dibangun diatas kesadaran penuh. Pertanyaannya, kapankah pemerintah dan elite didaerah dapat berjalan dengan sadar dan bertanggung jawab?. Ataukah sistem hukum yang kita anut masih rapuh, sehingga banyak celah bagi ‘oknum’ pejabat daerah dalam melakukan ‘transaksi’ yang merugikan rakyat. Pun jika sistem sudah baik tetapi tidak ada perubahan, maka apa salahnya Pemerintah Pusat secara tegas menarik kembali kewenangan daerah, paling tidak dibatasi untuk kebijakan yang bersifat fiskal, keuangan daerah ataupun penghambat perekonomian daerah. Saya rasa ini menjadi jalan yang halal demi kesejahteraan rakyat. Toh, ini tidak otoriter murni, tetapi semi otoritan. Kenapa harus anti perubahan, jangankan kebijakan politik atau ekonomi yang dapat dibongkar, otonomi daerah harus tetap di reformulasikan untuk mendapat racikan yang tepat dan cermat.
Cita-cita reformasi tentu tidak berhenti, tidak berakhir dengan kondisi yang ternyata semakin memburuk. Me-reformasi hasil reformasi yang tidak baik pun termasuk bagian dari reformasi. Tidak menjadi baik bila menganggap sistem mapan yang telah terbangun tidak dapat dirubah. Jangankan ‘desentrasliasi luas’ yang baru berumur tahunan, orde baru dan orde lama yang konon dianggap sudah mapan pada periodenya masih dapat dirobohkan. Atau sadar dan tidak, ternyata era terbaru saat ini, era reformasi (yang kini masuk jilid kedua) adalah penyumbang terbesar kesengsaraan rakyat Indonesia dalam sejarah.
Ingat, perubahan perlu sebuah kerja keras. Jika elite daerah tidak mau berubah, jangan salahkan Pemerintah Pusat akan menarik seluruh kewenangan daerah, sistem sentralisasi murni akan kembali berjaya. Bersambung…….
0 komentar:
Post a Comment