Saat ini berbagai ideologi partai sama namun partai berbeda-beda, partai yang bermunculan teramat banyak. Berangkat dari hal tersebut, multi partai di Indonesia memang tidak tepat berhadapan dengan sistem presidensial (Presiden-Sial, red). Jadi wajar saja kehadiran banyak partai harus dipangkas lewat pengaturan undang-undang, saya sangat setuju.
Mengapa judulnya sistem Presidensial, yup…. tampaknya gagasan sistem presidensial dengan posisi presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan masih salah kaprah. Posisi presiden yang harusnya ‘gagah’ menjadi lemah (dan benar-benar sial agaknya) berhadapan dengan sistem parlemen yang multi partai. Presiden harus menerapkan sikap kompromistis dihadapan parlemen (sebelas duabelas dengan tipe presiden sekarang).
Parlemen yang notabene diduduki oleh para ahli politik
berkepentingan. Mau gak mau, suka gak suka, kegagahan presiden harus berkurang
berbarengan dengan proses ‘serah terima’ di tingkat legislatif. Gerbong presiden
menjadi aman dengan pemberian kursi kabinet pada (banyak) partai, dan kebijakan
presiden pasti akan terus di-amin-i oleh legislatif. Legitimasi presiden atas
pilihan rakyat langsung pun jadi dikebiri (pake bahasa iwan fals).
Banyak partai, banyak kepentingan. Banyak partai
banyak pengeluaran. Itulah sistem politik yang ada disenayan. Sudah saatnya
sistem multi partai dilebur menjadi dwi partai atau multi partai sederhana.
Misalnya Partai Islam, nasionalis dan campuran.
Dalam sejarah Indonesia, sistem multi partai zaman
orde lama pernah dilebur jadi 3 partai atas gagasan Ali Moertopo tahun 1973
diera orde baru. Semua partai berfusi kedalam 3 partai yang representatif.
Golkar sebagai partai kekaryaan, PPP sebagai fusi partai-partai bercorak Islam,
dan PDI sebagai fusi partai-partai bercorak nasionalis. Atau memakai bahasa Gus
Dur “Titip aspirasi kepada orang lain saja bisa, kenapa harus buat wadah
sendiri”. Saya gak bermaksud membatasi saluran demokrasi, sama sekali tidak,
karena saya mudah-mudahan juga pro-demokrasi..
Semua tentu ada alasan. Kenapa? karena sampai saat ini
dengan sistem banyak partai ternyata telah terbukti membuat negeri ini semakin
kacau. Banyak partai belum bisa (mungkin gak akan bisa) menjadi saluran
pendidikan politk yang baik untuk masyarakat. Kebanyakan yang jelek-jelek aja
kalau sudah tentang partai.
Di Amerika, yang katanya sistem pemerintahan sudah
mapan, memang menerapkan sistem dwi partai (Republik dan Demokrat). Presiden
terpilih berasal dari salah satu yang ada didalam kurung diatas. Partai
pemenang secara terang-terangan mendukung presidennya, dan partai yang kalah
menjadi oposisi sejati, disinilah proses ‘check and balance’ benar-benar
berjalan efektif. Gesekan-gesekan di parlemen, baik antar senator, maupun antar
pimpinan partai terang-terangan terjadi. Presiden harus berhati-hati atas kebijakannya.
Dengan kekuatan dua partai yang seimbang (beda-beda tipis lah) tentu saja
presiden tidak bisa otoriter melulu menuruti partai penyokong, karena kebijakan
presiden juga harus mengakomodasi partai oposisi (Mengambil keputusan terbaik).
Begitu pula di Inggris, penerapan sistem tiga partai
dominan (buruh, konservatif dan demokrat) adalah jawaban terbaik demi
terselenggaranya pemerintahan yang efektif. Partai penguasa yang memenangi
kursi kepresidenan mau tidak mau akan diawasi oleh partai oposisi sejati yang
kalah. Peta politik akan mudah terbaca. Dan yang pasti sebelum check and
balances berlaku antar eksekutif dan legislatif, di internal parlemen
gesekan-gesekan positif pun sudah terjadi didalam.
Pada saat ini, agenda penyederhaan partai dengan
ambang batas parlemen terus berjalan, terus terang saya sangat sepakat,
tentunya tidak menghilangkan electoral
threshold yang telah berhasil mengurangi partai peserta pemilu. Tak perlu
menunggu seleksi alamiah sesuai harapan partai, karena proses ini terlalu
memakan waktu ditengah kondisi perpolitikan di Indonesia yang semakin tidak baik.
Jalan shortcut adalah dengan
memperberat impian partai-partai untuk duduk di parlemen (lahan uang dan
kekuasaan).
Pegang kepala untuk mematikan tangan dan kaki, sedikit
radikal namun efektif (ini omongan dapet dari sesepu-sesepuh jogja,hehehe).
Paket undang-undang politik dengan ambang batas parlemen dibuat menjadi besar,
jadi partai yang gak mampu dipaksa mundur atau dapat berlebur dengan partai
yang ber-idieologi sama. Bahkan kalau mau ekstrim, 10 % ambang parlemen dapat
diterapkan bertahap, alasanya hanya partai besar dan mampu yang bisa duduk di
parlemen. Pemaksaan ini dapat menjadi cambuk bagi partai untuk memperbaiki
kinerja dan komitmennya sebagai corong dan pejuang kesejahteraan rakyat, itupun
kalau mau sadar dan bertahan. Gak mampu, ya bubar saja..
Yah itulah keadaan Indonesia. Memang teramat banyak
pekerjaan rumah negeri ini. Dari korupsi yang makin akut, sistem pemerintah pusat
dan daerah yang tak tentu arah. Sampai urusan krisis moral yang harus
diperdebatkan. Semakin banyak tokoh bermunculan, atas embel-embel demi rakyat
atau demi keadilan, ternyata sama saja. Apapun itu, kebaikan harus dimulai
sejak dari yang terkecil, dari dalam dan sejak dini. Jadi terkenang kutipan
bijak untuk para calon pemimpin negeri ini, pada saat terjadi regenerasi kepemimpinan
di zaman Khalifah:
“Khalifah Abu Bakar pernah menasehati Umar bin Khattab
yang ragu-ragu menggantikan beliau, pada saat itu Abu Bakar yang sedang sakit
memanggil Umar dan berkata, dalam situasi seperti ini, kata Abu Bakar, ada dua
orang yang akan masuk neraka. Pertama orang yang menerima jabatan dan tanggung
jawab besar padahal gak mampu dan gak layak menerima. Kedua, orang yang mampu
tetapi milih lari menghindari tanggung jawab.
Nah,, ironisnya kalaw sekarang malah banyak muncul
orang yang merasa diri pantas menjadi pemimpin, termasuk menilai diri pantas
menjadi pemimpin.
Semoga kita gak termasuk didalamnya, minimal walaupun
belum ada yang dipimpin (berkeluarga aja belum), pimpinlah diri sendiri dengan
baik.(hehehe).
Mari kita mulai memperbaiki negeri ini, karena
jangan-jangan sikap dari tiap-tiap kita ‘individu’ yang buruk menjadi akumulasi
citra buruk Indonesia…heheee, semoga tidak……