https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-3309919219570739/home November 2014 ~ INDONESIAN LAW (THEORY AND PRACTICE)

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Nov 5, 2014

PIDANA MASALAH TANAH

Permasalahan tanah yang kerap terjadi antara lain berupa sengketa tanah, penyerobotan tanah, menempati lahan tanpa izin, penanaman di atas milik orang lain, perusakan tanaman, perusakan pagar milik orang lain, dan perbuatan lainnya yang berhubungan dengan masalah tanah. Selama ini dalam penanganan masalah tanah banyak masyarakat dan pihak aparat yang melakukan pendekatan penyelesaian dengan proses perdata yang tentunya menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Dalam penanganan masalah tanah tersebut, sebenarnya pihak yang dirugikan dapat melakukan pendekatan pidana yang lebih efektif dan memiliki efek jera, meskipun masalah pokok adalah masalah tanah yang masuk wilayah hukum perdata, namun didalamnya jelas terkandung tindakan pidana seseorang yang dapat diproses dan dijerat dengan pasal-pasal yang terdapat di KUHP, antara lain : Pasal Pengancaman (Jika terdapat unsur ancaman dalam menyerobot lahan, Pasal Pemalsuan (Jika pelaku memalsukan surat menyurat yang ada), Pasal Perusakan (Jika Pelaku melakukan perusakan tanaman, pagar, patok kepunyaan pemilik yang sah, pasal penyerobotan lahan (Jika pelaku menjual lahan milik orang lain yang sah), Pasal Penipuan (Jika terdapat unsur menipu orang lain dengan tipu muslihat dan melawan hukum.

Secara terperinci, diuraikan beberapa contoh pasal sebagai berikut :

A.        Proses Pidana

a)        Proses Pidana “Pengancaman”

Bahwa sesuai ketentuan Pasal 368 ayat (1) KUHP, sesorang yang bermaksud meguasai lahan orang lain biasanya melakukan intimidasi dan ancaman kepada pemilik yang sah, dalam kondisi tersebut, hal ini dapat dipidana dengan syarat terdapat barang bukti berupa foto pada saat pelaku melakukan pengancaman (dengan ataupun tanpa senjata tajam) dan terdapat dua orang yang menyaksikan.

1)  Referensi Pasal 368 ayat (1) KUHP

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

2)  Referensi Pasal 335 KUHP

Selain itu, jika seseorang secara melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain dapat dikenakan  Pasal 335 KUHP. Sesuai ketentuan ini, ancaman kekerasan (meski belum terjadi kekerasan) pun dapat dikenakan pasal 335 KUHP jika unsur adanya paksaan dan ancaman ini terpenuhi. Proses pidana melalui delik aduan sang korban.



b)        Proses Pidana “Penipuan”

Dalam masalah tanah, sering terjadi penipuan terkait jual beli tanah dalam tujuan penguasaan tanah secara melawan hukum di atas lahan yang telah dikuasai dan dimiliki secara sah oleh seseorang.

Referensi Pasal 378 KUHP
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."

c)         Proses Pidana “Perusakan”

Bahwa sesuai ketentuan Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang secara melawan hukum menghancurkan, merusakkan, barang sesuatu merupakan milik orang lain maka diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Dengan unsur-unsur pidana yang harus dipenuhi sbb:

a.  Barangsiapa (menunjuk pada pelaku, minimal pelaku yang diduga melakukan perusakan)
b.  Dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum (tanpa izin merusak tanaman/pohon/bangunan/pagar  milik seseorang)
c.   Melakukan perbuatan menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu.
d.  Barang tersebut seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain               (pohon/tanaman/bangunan/pagar/kendaraan yang dirusak bukan milik pelaku).

Dalam hal semua unsur terpenuhi, maka pelaku yang melakukan perusakan dapat dihukum pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan sehingga dapat memberikan efek jera kepada pelaku.

Referensi : Pasal 406 KUHP yang berbunyi:

1)  Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
2)  Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang merupakan milik orang lain.

d)        Proses Pidana “Pencurian”
Sesuai ketentuan pasal 362 KUHP, bahwa seseorang yang mengambil barang sesuatu milik orang lain secara melawan hukum, diancam pidana penjara paling lama lima tahun.

Pidana pencurian adalah delik formil yang dianggap terpenuhi apabila perbuatan pidana dilakukan sebagaimana dimaksud dalam rumusan delik, yaitu sesorang mengambil barang sesuatu kepunyaan orang lain

Referensi Pasal 362 KUHP:
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

e)        Proses Pidana “Menempati Lahan Tanpa Izin”
Sesuai ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang masih berlaku hingga saat ini, bahwa seseorang yang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau mengganggu pihak yang berhak maka diancam pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Dalam proses hukum sesuai ketentuan ini, penting adanya bukti aktifitas seseorang menanam tanaman, atau menggarap lahan atau mendirikan bangunan/gubuk di atas lahan milik orang lain. Proses pidana menggunakan acara cepat, dimana penyidik kepolisian bertindak sekaligus sebagai penuntut dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Tunggal.

1)  Referensi UU No 51 PRP 1960:
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin menyatakan bahwa “Pemakaian Tanah tanpa izin dari yang berhak adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam dengan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan”

2)  Pasal 6 UU No 51 PRP 1960 :
(i) barangsiapa memakai tanah tanpa izin yang berhak
(ii) barangsiapa yang menggangu pihak yang berhak yang menggunakan suatu bidang tanah orang lain tanpa izin

f)         Proses Pidana “Penyerobotan Lahan”

Sesuai ketentuan pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa seseorang yang secara melawan hukum, menjual, menukarkan tanah yang bukan miliknya kepada pihak lain dan memperoleh keuntungan atas perbuatannya tersebut, diancam pidana penjara paling lama empat tahun.

Dalam hal ini unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan”, yang berarti perbuatan seseorang yang menjual/menukarkan tanah yang bukan miliknya kepada pihak lain dan memperoleh keuntungan atas perbuatannya tersebut.

Referensi Pasal 385 Ayat 1 KUHP:
“Diancam pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband sesuatu hak tanah yang telah bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain”.

B.        Alternatif Proses Perdata

Pengajuan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Bahwa sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata, apabila seseorang scara melawan hukum membawa kerugian kepada orang lain, maka orang tersebut karena salahnya harus mengganti kerugian yang ditimbulkan tersebut.

Mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Pasal 1365 KUH Perdata. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum :

-     Adanya kesalahan
-     Adanya kerugian
-     Adanya sifat melawan hukum
-     Adanya hubungan kausal/sebab akibat

Untuk diketahui bahwa proses gugatan ini memakan waktu yang cukup panjang sampai diperoleh Putusan yang inkracht untuk dieksekusi, oleh karena itu Gugatan Perbuatan Melawan Hukum menjadi prioritas setelah proses mediasi dan pidana ditempuh, tetapi tidak tercapai hasil yang maksimal.

1.  Dalam hal semua unsur terpenuhi sesuai rumusan delik dan dapat dibuktikan oleh Pelapor dengan minimal 2 saksi dan 2 bukti maka pelaku yang melakukan Pencurian/Menempati Lahan Tanpa izin/Penyerobotan Lahan/Perusakan dapat dijerat hukuman sesuai ancaman pidananya.

2.  Bahwa dalam hukum pidana, pihak yang dapat dipidana tidak terbatas pada pelaku yang melakukannya, namun dapat diperluas berdasarkan pengelompokannya sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP.

Dalam hal tindak pidana dilakukan dengan menyuruh orang lain dan/atau turut serta melakukan tindakan pidana maka orang tersebut mendapatkan hukuman yang sama dengan pelaku utama yang secara langsung melakukan tindakan tersebut.

Untuk proses perdata PMH, apabila semua unsur terpenuhi, maka tergugat diharuskan mengganti kerugian yang diderita penggugat.


C.  Penyelesaian Pidana Masalah Lahan

a.  Berkoordinasi/konsultasi dengan pihak Kepolisian guna memastikan bahwa Tindak Pidana yang akan di laporkan baik Pencurian atau Menempati Lahan Tanpa Izin atau Penyerobotan Lahan atau Perusakan adalah yang paling mudah dalam pembuktiannya sesuai dengan kondisi lapangan
b.  Menyiapkan dan menunjuk pelapor yang akan melaporkan secara langsung  ke Polres Setempat (Bila Mewakili yang berhak diperlukan Surat Kuasa Khusus)
c.   Melaporkan secara resmi dengan pembuatan Laporan (LP) di Polres
d.  Menerima tanda laporan berupa Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL)
e.  Mengupayakan minimal 2 orang saksi atau lebih diprioritaskan yang lebih mengetahui kondisi lapangan dan tempat kejadian
f.   Mengawal dan mengikuti proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Polres setempat, khususnya pendampingan hukum bagi pelapor dan saksi-saksi
g.  Mempersiapkan barang bukti (Minimal 2 buah)

-  Pidana Perusakan
Dokumen kepemilikan tanah pemilik sah, Tindakan pelaku (merusak barang / tanaman / bangunan, garap lahan), hasil perbuatan berupa barang yang dirusak, Dokumentasi Foto Aktivitas yang dilakukan, Foto lokasi kejadian, dan Alat yang digunakan untuk perusakan.
-  Pidana Pencurian
Hasil curian/sisa hasil curian, alat yang digunakan, alat angkutan, dokumentasi foto lokasi kejadian atau bekas tebasan

-  Pidana Menempati Lahan Tanpa Izin
Dokumen kepemilikan tanah yang berhak, dokumen tanah yang mengklaim lahan (jika ada), kegiatan/aktifitas pelaku di Lahan milik yang berhak, dokumentasi foto aktivitas yang dilakukan (garap lahan, tanam, dirikan gubuk/bangunan), foto lokasi kejadian, surat klaim dan/atau dokumen pendukung lainnya

-  Pidana Penyerobotan Lahan
Dokumen kepemilikan tanah pemiliknya, dokumen tanah yang mengklaim (jika ada), bukti pembelian tanah, dokumentasi foto aktivitas yang dilakukan (garap lahan, tanam, dirikan gubuk/bangunan), foto lokasi kejadian, surat klaim dan/atau dokumen pendukung lainnya

h.  Pemantauan areal untuk mengetahui perkembangan kondisi lahan

i.    Melakukan koordinasi intensif dengan Polres setempat untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan sampai dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Lahat (P.21) dan diproses di pengadilan Negeri.

Referensi :
Pasal 108 ayat (1) dan ayat (6) KUHAP
1)  Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tulisan
2)  Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan

Nov 4, 2014

DASAR HUKUM EKSEKUSI SUKARELA DAN EKSEKUSI PAKSA

  A. PENGERTIAN, ASAS-ASAS DAN DASAR HUKUM EKSEKUSI

  1.  Pengertian

  a. Istilah Eksekusi berasal dari Bahasa Belanda,  Executeren, executie berarti melaksanakan,    menjalankan, pelaksanaan, penjalanan
  b. R.Subekti dan Ny.Retnowulan, mengartikan eksekusi berarti pelaksanaan putusan
  c. Eksekusi berarti melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan alat negara apabila pihak yang kalah (tereksekusi) tidak mau menjalankan secara sukarela

2.  Jenis Eksekusi

a.  Dengan Sukarela
Artinya pihak yang dikalahkan melaksanakan sendiri putusan Pengadilan tanpa ada paksaan dari pihak lain

b.  Dengan Paksaan
Yaitu menjalankan putusan Pengadilan, yang merupakan suatu  tindakan hukum  dan dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah disebabkan ia tidak mau menjalankan putusan secara suka rela

3.  Asas Asas Eksekusi

a.  Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap :

1)    Putusan Pengadilan Negeri tidak banding
2)    Putusan Pengadilan Tinggi tidak kasasi
3)    Putusan Mahkamah Agung

b.  Putusan tidak dijalankan secara sukarela
c.   Putusan bersifat kondemnatoir (memerintah/menghukum)
d.  Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri (Pasal  196 HIR dan 264 Rbg)
e.  Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi (Pasl 66 ayat (2) UU 14 tahun 1985 serta perubahannya)
f.   Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan

4.  Dasar Hukum Eksekusi

a.  Pasal 195 s.d Pasal 224 HIR/Pasal 206 s.d Pasal 258 R.Bg (tentang tata cara eksekusi secara umum)
b. Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu)
c.  Pasal 209 s.d Pasal 223 HIR/Pasal 242 s.d Pasal 257 RBg, yang mengatur tentang ”sandera” (gijzeling) berdasarkan SEMA Nomor 2 Tahun 1964 dianggap bertentangan dengan peri kemanusiaan, sehingga tidak efektif digunakan lagi
d.  Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu serta merta (Uitvoerbaar bij  voorraad  dan provisi)
e.  Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil)
f.   Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang pelaksanaan putusan pengadilan


5.  Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata

a.  HIR (Het Herzine Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848.
b.  RBg (Reglemen Buitengwesten) Staatblad 1927 No 277
c.   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
d.  Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

B.     ANALISA HUKUM TERKAIT PELAKSAAN PUTUSAN (EKSEKUSI)

1. Menurut HIR dan RBG :
Pasal 195 HIR


Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

Pada prinsipnya, dalam perkara perdata pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh pihak yang dikalahkan. Akan tetapi, terkadang pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan secara sukarela, sehingga pihak yang menang dapat meminta bantuan pihak pengadilan untuk memaksakan eksekusi putusan tersebut.


Pasal 196 HIR:

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari. 

Jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih juga tidak dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan memerintahkan agar disita barang-barang milik pihak yang kalah sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.


Pasal 197 HIR

Jika  sesudah  lewat  tempo  yang  telah  ditentukan  belum  juga  dipenuhi putusan  itu  atau  jika  pihak  yang  dikalahkan  itu  walaupun  telah  dipanggil dengan   patut  tidak  juga datang menghadap maka ketua atau pegawai yang dikuasakan  itu  karena  jabatannya  memberi  perintah  dengan  surat  supaya disita  sejumlah barang kepunyaan  pihak  yang  dikalahkan

Pasal 225 HIR

Jika seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan tidak melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak yang menang perkara boleh meminta kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya, entah dengan syarat, entah dengan lisan, supaya keuntungan yang sedianya akan didapatnya jika keputusan itu dilaksanakan, dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukannya dengan pasti; permintaan itu harus dicatat jika diajukan dengan lisan.


Pasal 208 Rbg

Bila setelah lampau tenggang waktu yang telah ditentukan, putusan hakim tidak dilaksanakan atau pihak yang kalah tidak datang menghadap setelah dipanggil, maka ketua pengadilan yang diberi kuasa karena jabatannya mengeluarkan perintah untuk menyita barang-barang milik pihak yang kalah


Pasal 259 Rbg

Jika seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan tidak melakukannya dalam waktu yang telah ditentukan oleh hakim, maka oleh orang yang mendapat keuntungan dari putusan pengadilan yang bersangkutan dapat dimintakan kepada pengadilan agar kepentingan dari pemenuhan perbuatan itu dinilai dalam jumlah uang yang harus ia kemukakan

2. Menurut pendapat para ahli :

a.  Subekti dan Retnowulan Sutantio
Subekti  dan  Retnowulan  Sutantio, “menjalankan putusan pengadilan  tidak  lain melaksanakan  isi putusan pengadilan,  yakni melaksanakan  “secara  paksa”  putusan  pengadilan dengan  bantuan  alat-alat  negara  apabila  pihak  yang  kalah  tidak mau menjalankannya  secara  sukarela”.

b.  Menurut Sudikno Mertokusumo
Mengenai bentuk-bentuk eksekusi, Sudikno Mertokusumo mengklasifikasikannya menjadi 3 kelompok, yaitu:
1)  Membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR dan Pasal 208 Rbg
2)  Melaksanakan  suatu  perbuatan (Pasal  225  HIR  dan Pasal 259 Rbg
3)  Eksekusi Riil (Pasal 1033 Rv)

c.   Menurut M. Yahya Harahap
M. Yahya Harahap dalam buku Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (hal.11) menulis, pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi dapat disingkirkan.

Akibat dari keadaan tidak ada kepastian jika putusan dilaksanakan secara sukarela, sering dijumpai berbagai praktik pemenuhan putusan secara sukarela berbeda antara satu pengadilan dengan pengadilan yang lain. Ada pengadilan yang tidak mau campur tangan atas pemenuhan secara sukarela, ada pula pengadilan yang aktif ambil bagian menyelesaikan pemenuhan putusan secara sukarela. Walaupun dilakukan secara sukarela, Ketua Pengadilan Negeri melalui juru sita dapat :

a.  Membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela
b.  Disaksikan oleh dua orang saksi
c.   Pembuatan berita acara dan kesaksian dilakukan di tempat pemenuhan putusan dilakukan
d.  Berita acara ditandatangani oleh juru sita, para saksi, dan para pihak (penggugat dan tergugat)

“Yahya Harahap juga berpendapat, campur tangan pengadilan dalam pemenuhan putusan pengadilan secara sukarela dimaksudkan agar terhindar dari ketidakpastian penegakan hukum”

Jadi, jangka waktu pelaksanaan putusan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jika putusan tidak dilaksanakan, pihak yang menang dapat memaksakan pelaksanaan eksekusi dengan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan

Menurut Yahya Harahap bentuk-bentuk eksekusi diklasifikasikan menjadi 2 kelompok sbb :

1.    Eksekusi riil, yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil”
Bahwa dapat dicontohkan bentuk Eksekusi riil seperti menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang  tanah atau rumah,  melakukan  suatu  perbuatan  tertentu,  dan  menghentikan suatu perbuatan atau keadaan
2.    Eksekusi pembayaran uang
Bahwa pihak yang dikalahkan diharuskan membayar sejumlah uang

Bahwa berdasarkan pembagian 2  klasifikasi  bentuk  eksekusi  di  atas,  hampir  tidak ada perbedaan, karena eksekusi melakukan sesuatu pada dasarnya sama dengan eksekusi riil.

C.  Proses Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Eksekusi)
Proses  pelaksanaan  eksekusi  dimulai  dengan  pengajuan  permohonan eksekusi  dan  diakhiri  dengan  pelaksanaan  eksekusi, dengan tahapan sbb :

1.  Permohonan Eksekusi
Pemohon eksekusi mengajukan permohonan  eksekusi yang diajukan langsung ke Ketua Pengadilan Negeri dengan melampirkan fotokopi putusan pengadilan  yang  telah mempunyai kekuatan hukum  tetap, meliputi putusan  Pengadilan  Negeri,  dan/atau  putusan  Pengadilan  Tinggi,  dan/atau Putusan Mahkamah Agung Republik  Indonesia.

Pihak  yang  berhak mengajukan permohonan eksekusi adalah pihak yang dinyatakan “menang” dalam putusan, baik  itu pribadi atau melalui kuasa hukumnya dengan disertai surat kuasa khusus.

a.  Pembayaran Panjar
Permohonan  eksekusi  diajukan  ke Kepaniteraan  Perdata,  dalam  hal ini  yang menerima  permohonan  eksekusi  adalah  Panitera Muda  (Panmud) Perdata.  Selanjutnya  Pemohon  membayar  biaya  panjar  eksekusi  sesuai dengan yang  telah ditentukan, dan dibuatkan bukti setor. Dan pemohon eksekusi menyerahkan bukti penyetoran tersebut kepada petugas/kasir yang berada di bagian Kepaniteraan Perdata Pengadilan dan kasir tersebut selanjutnya mengeluarkan tanda  bukti  pembayaran  berupa  SKUM (Surat  Kuasa  Untuk  Membayar)

b.  Aanmaning (Teguran)
Ketentuan  Pasal  207  ayat  (2)  Rbg, menyebutkan  bahwa  8  hari  setelah aanmaning dilakukan,  dan  termohon  eksekusi  tidak  mengindahkan  teguran tersebut, maka  sudah dapat dilaksanakan eksekusi.

c.  Eksekusi
Setelah  termohon eksekusi dipanggil secara patut  ternyata  tidak hadir dengan  alasan  yang  tidak  dapat  dipertanggung  jawabkan,  maka  dalam praktiknya biasanya dipanggil 1 kali lagi dan jika tidak hadir, maka Ketua  Pengadilan dapat langsung  mengeluarkan  penetapan  eksekusi  terhitung  sejak  tergugat  tidak memenuhi panggilan, dengan perintah berupa penetapan (beschikking) dan ditujukan kepada panitera atau juru sita untuk pelaksanaannya.

d.  Pelaksanaan Eksekusi
1)      Isi perintah, agar menjalankan eksekusi sesuai amar keputusan
2)      Eksekusi dilakukan oleh panitera/juru sita (109 R.Bg/pasal 197 HIR)
3)     Dalam pelaksanaannya, panitera/juru sita dibantu oleh 2 (dua) orang saksi (210 R.Bg) atau pasal 197 ayat (6) HIR
4)      Eksekusi dilaksanakan ditempat objek/barang berada
5)      Membuat berita acara dengan ketentuan memuat :
- Barang/jenis yang dieksekusi
- Letak/ukuran yang dieeksekusi
- Hadir/tidak hadirnya tereksekusi
- Penegasan/pengawasan barang
- Penjelasan non bevinding bagi yang tak sesuai dengan amar putusan
- Penjelasan dapat/tidaknya dijalankan
- Hari/tanggal, jam, bulan dan tahun pelaksanaan
- Diserahkan kepada pemohon eksekusi
- Berita acara ditanda tangani oleh Pejabat pelaksana eksekusi panitera/juru sita, dua saksi yang membantu pelaksanaan eksekusi, dan bila perlu melibatkan Kepala desa/lurah setempat atau camat dan Termohon eksekusi.

Kepala desa/lurah atau camat dan termohon eksekusi secara yuridis formal tidak diwajibkan menanda tangani berita acara, namun untuk menghindari hal-hal yang mungkin timbul dibelakang hari sebaiknya keduanya harus diikutkan.

6)  Memberitahukan isi berita acara eksekusi 209 R.Bg/pasal 197 ayat (5) HIR. Pemberitahuan ini dapat dilakukan dengan cara memberikan copy salinan berita acara tersebut.


2.  Tata Cara Eksekusi Sejumlah Uang

Eksekusi pembayaran sejumlah uang dapat dilaksanakan dengan objeknya berupa sejuamlah uang yang harus dilunasi tergugat kepada penggugat. Apabila amar putusan berisi penghukuman pembayaran sejumlah uang tersebut kepada penggugat, dengan jalan menjual lelang harta kekayaan tergugat.

Prosedur eksekusi penyerahan sejumlah uang dalam perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri  antara lain :
a.  Permohonan pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri
b.  Peringatan aanmaning
c.   Surat peringatan perintah eksekusi
d.  Pelelangan

3.  Perbedaan Eksekusi Rill dan Eksekusi Pemenuhan Sejumlah Uang

a.  Terhadap objek  yang  akan  dieksekusi,  terlebih  dahulu  diletakkan sita  eksekusi. Sita  eksekusi dapat  dilakukan  terhadap  eksekusi  riil  ataupun  eksekusi  pemenuhan sejumlah  uang,  dan  terhadap  sita  eksekusi  ini  tidak mutlak  dilakukan karena jika  pada waktu  berperkara  terhadap  objek  gugatan  atau  jaminan telah diletakkan sita  jaminan,  maka  sita  eksekusi  tidak  perlu  lagi dilaksanakan,  akan  tetapi  sebaliknya  jika  terhadap  objek  gugatan  atau objek  jaminan  belum  diletakkan  sita  eksekusi, maka  sita  eksekusi  harus dilakukan.

b.  Memperhatikan  ketentuan  Pasal  197 HIR  atau  Pasal  208 Rbg, bahwa  yang  dapat  diletakkan  sita  eksekusi  adalah  eksekusi  pemenuhan  sejumlah uang,  yang  mana  pihak  yang  kalah  atau  termohon  eksekusi  harus  membayar sejumlah  uang  sebagaimana  isi  putusan  dan  hal  itu  dapat  dilakukan  dengan melelang harta  bergerak maupun  tidak  bergerak milik  termohon eksekusi apabila termohon eksekusi tidak mematuhi isi putusan, sedangkan untuk eksekusi riil tidak ada aturan hukum yang mengatur adanya sita eksekusi. Pasal 1033 Rv menyebutkan bila  termohon  eksekusi  tidak  mematuhi  isi  putusan,  maka  dapat  dilakukan pengosongan  terhadap objek perkara,  tidak perlu dilakukan  sita eksekusi  terhadap objek perkaranya.

c.   Eksekusi  riil  merupakan  eksekusi  pengosongan  atas  objek  perkara kepunyaan pemohon eksekusi yang berada di  tangan  termohon eksekusi, sehingga apa bila  akan dilaksanakan eksekusi terhadap objek perkara, tidak diperlukan sita eksekusi. Berbeda dengan eksekusi pemenuhan sejumlah uang, untuk terlaksananya eksekusi  tersebut diperlukan sita eksekusi atas barang jaminan  atau  barang milik termohon  eksekusi, agar objek yang disita itu dijadikan jaminan untuk melunasi sejumlah  uang yang tercantum  pada  amar  putusan. 

d.  Terhadap eksekusi riil, bila pemohon eksekusi khawatir objek perkara dialihkan kepada pihak lain, maka sebaiknya pada waktu proses berperkara  sedang berlangsung, pihak pemohon eksekusi yang waktu itu sebagai penggugat mengajukan permohonan sita jaminan terhadap objek perkara dengan segala surat-surat yang berhubungan dengan objek perkara tersebut

e.  Terhadap  eksekusi pemenuhan  sejumlah uang dan melakukan  suatu perbuatan hampir sama dengan pelaksanaan eksekusi riil, yang mana setelah diletakkan  sita eksekusi  atas  objek  jaminan atau barang  bergerak maupun tidak bergerak milik termohon eksekusi, maka kemudian Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan perintah penjualan  lelang dan uang hasil  lelang  tersebutlah  nantinya  yang  akan  diserahkan  kepada  pemohon eksekusi sebagai  pemenuhan isi putusan.

f.   Pelaksanaan eksekusi yang sukses mengakhiri rangkaian penyelesaian perkara  perdata  melalui  pengadilan.  Dengan  dilaksanakannya  eksekusi tersebut, pihak yang menang (pemohon eksekusi) akan mendapatkan haknya sebagaimana ditentukan oleh putusan pengadilan.

4.  Kendala Dalam Pelaksanaan Eksekusi :

a.     Barang yang akan dieksekusi tidak jelas (tidak jelas batas-batasnya, ukurannya  dan lain-lain)
b.      Terjadi perubahan alamat
c.      Barang yang akan dieksekusi ternyata merupakan milik sipenyewa
d.      Barang yang akan dieksekusi sedang digunakan
e.      Adanya dua putusan yang saling bertentangan terhadap objek yang sama
f.      Terjadinya overmacht (relatif maupun absolut)
g.      Amar putusan bersifat declaratoir

Untuk dapat dilaksanakan, maka harus diajukan perkara baru dengan nomor baru dengan petitum perbaikan. Faktor  berikutnya  yang menghambat pelaksanaan  eksekusi adalah  pada waktu  pengadilan  meletakkan  sita  eksekusi  atau  melaksanakan eksekusi terhadap eksekusi  riil atau pengosongan  tempat yang dikuasai oleh  termohon eksekusi,  pemohon  eksekusi  kesulitan  menentukan  batas-batas  tanah  yang akan  dieksekusi,  yang  berakibat  eksekusi  tidak  dapat  dilaksanakan.

Untuk  mengantisipasi  adanya  objek  perkara  yang  kabur, Mahkamah Agung  melalui  Surat  Edarannya No.  7  Tahun  2001  Tentang  Pemeriksaan Setempat, mewajibkan  kepada  Hakim  dalam  hal  memeriksa  perkara  yang objeknya berupa  tanah agar dilakukan pemeriksaan setempat, sehingga lokasi serta batas-batas objek perkara jelas dan memudahkan dalam eksekusinya.

Bahwa pelaksanaan  eksekusi  dapat  pula  terhalang oleh  karena  objek perkara  telah  berpindah  tangan  kepada  pihak  lain,  bahkan  telah  diterbitkan sertifikat  atas  nama  pihak  ketiga  di  atas  tanah  objek  perkara. Hal  ini  baru diketahui pada saat diletakkan sita eksekusi atas objek perkara. Apabila objek perkara telah  berpindah tangan kepada pihak lain, tentunya eksekus terhambat, karena Pengadilan juga harus memperhatikan dan melindungi hak pihak ketiga yang menguasai objek perkara, apalagi  jika penguasaan  tersebut didasarkan pada  itikad  baik.

Untuk  menghindari  berpindahnya  objek  kepada  pihak  lain,  penggugat dalam proses beracara sedini mungkin sebaiknya mengajukan permohonan sita jaminan (conservatoir  beslag).

Di samping itu, penggugat dituntut berperan aktif untuk memberitahukan kepada  Badan  Pertanahan  Nasional  (BPN)  bahwa  objek  tanah  dimaksud sedang  dalam  berperkara,  sehingga  diharapkan  tidak  terjadi  peralihan  hak kepada  orang  lain.

Kemenangan Penggugat dalam keadaan demikian merupakan kemenangan di atas  kertas,  karena apa  yang dituntutnya  dalam  amar  dan  dikabulkan  oleh pengadilan,  tidak dapat dimohonkan eksekusinya, kecuali  termohon  eksekusi secara sukarela bersedia memenuhi isi putusan.
www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com