https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-3309919219570739/home 2013 ~ INDONESIAN LAW (THEORY AND PRACTICE)

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Oct 7, 2013

SISTEM PRESIDENSIAL DAN MULTI PARTAI DI INDONESIA


Saat ini berbagai ideologi partai sama namun partai berbeda-beda, partai yang bermunculan teramat banyak. Berangkat dari hal tersebut, multi partai di Indonesia memang tidak tepat berhadapan dengan sistem presidensial (Presiden-Sial, red). Jadi wajar saja kehadiran banyak partai harus dipangkas lewat pengaturan undang-undang, saya sangat setuju.

Mengapa judulnya sistem Presidensial, yup…. tampaknya gagasan sistem presidensial dengan posisi presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan masih salah kaprah. Posisi presiden yang harusnya ‘gagah’ menjadi lemah (dan benar-benar sial agaknya) berhadapan dengan sistem parlemen yang multi partai. Presiden harus menerapkan sikap kompromistis dihadapan parlemen (sebelas duabelas dengan tipe presiden sekarang).

Parlemen yang notabene diduduki oleh para ahli politik berkepentingan. Mau gak mau, suka gak suka, kegagahan presiden harus berkurang berbarengan dengan proses ‘serah terima’ di tingkat legislatif. Gerbong presiden menjadi aman dengan pemberian kursi kabinet pada (banyak) partai, dan kebijakan presiden pasti akan terus di-amin-i oleh legislatif. Legitimasi presiden atas pilihan rakyat langsung pun jadi dikebiri (pake bahasa iwan fals).

Banyak partai, banyak kepentingan. Banyak partai banyak pengeluaran. Itulah sistem politik yang ada disenayan. Sudah saatnya sistem multi partai dilebur menjadi dwi partai atau multi partai sederhana. Misalnya Partai Islam, nasionalis dan campuran.

Dalam sejarah Indonesia, sistem multi partai zaman orde lama pernah dilebur jadi 3 partai atas gagasan Ali Moertopo tahun 1973 diera orde baru. Semua partai berfusi kedalam 3 partai yang representatif. Golkar sebagai partai kekaryaan, PPP sebagai fusi partai-partai bercorak Islam, dan PDI sebagai fusi partai-partai bercorak nasionalis. Atau memakai bahasa Gus Dur “Titip aspirasi kepada orang lain saja bisa, kenapa harus buat wadah sendiri”. Saya gak bermaksud membatasi saluran demokrasi, sama sekali tidak, karena saya mudah-mudahan juga pro-demokrasi..

Semua tentu ada alasan. Kenapa? karena sampai saat ini dengan sistem banyak partai ternyata telah terbukti membuat negeri ini semakin kacau. Banyak partai belum bisa (mungkin gak akan bisa) menjadi saluran pendidikan politk yang baik untuk masyarakat. Kebanyakan yang jelek-jelek aja kalau sudah tentang partai.

Di Amerika, yang katanya sistem pemerintahan sudah mapan, memang menerapkan sistem dwi partai (Republik dan Demokrat). Presiden terpilih berasal dari salah satu yang ada didalam kurung diatas. Partai pemenang secara terang-terangan mendukung presidennya, dan partai yang kalah menjadi oposisi sejati, disinilah proses ‘check and balance’ benar-benar berjalan efektif. Gesekan-gesekan di parlemen, baik antar senator, maupun antar pimpinan partai terang-terangan terjadi. Presiden harus berhati-hati atas kebijakannya. Dengan kekuatan dua partai yang seimbang (beda-beda tipis lah) tentu saja presiden tidak bisa otoriter melulu menuruti partai penyokong, karena kebijakan presiden juga harus mengakomodasi partai oposisi (Mengambil keputusan terbaik).

Begitu pula di Inggris, penerapan sistem tiga partai dominan (buruh, konservatif dan demokrat) adalah jawaban terbaik demi terselenggaranya pemerintahan yang efektif. Partai penguasa yang memenangi kursi kepresidenan mau tidak mau akan diawasi oleh partai oposisi sejati yang kalah. Peta politik akan mudah terbaca. Dan yang pasti sebelum check and balances berlaku antar eksekutif dan legislatif, di internal parlemen gesekan-gesekan positif pun sudah terjadi didalam.

Pada saat ini, agenda penyederhaan partai dengan ambang batas parlemen terus berjalan, terus terang saya sangat sepakat, tentunya tidak menghilangkan electoral threshold yang telah berhasil mengurangi partai peserta pemilu. Tak perlu menunggu seleksi alamiah sesuai harapan partai, karena proses ini terlalu memakan waktu ditengah kondisi perpolitikan di Indonesia yang semakin tidak baik. Jalan shortcut adalah dengan memperberat impian partai-partai untuk duduk di parlemen (lahan uang dan kekuasaan).

Pegang kepala untuk mematikan tangan dan kaki, sedikit radikal namun efektif (ini omongan dapet dari sesepu-sesepuh jogja,hehehe). Paket undang-undang politik dengan ambang batas parlemen dibuat menjadi besar, jadi partai yang gak mampu dipaksa mundur atau dapat berlebur dengan partai yang ber-idieologi sama. Bahkan kalau mau ekstrim, 10 % ambang parlemen dapat diterapkan bertahap, alasanya hanya partai besar dan mampu yang bisa duduk di parlemen. Pemaksaan ini dapat menjadi cambuk bagi partai untuk memperbaiki kinerja dan komitmennya sebagai corong dan pejuang kesejahteraan rakyat, itupun kalau mau sadar dan bertahan. Gak mampu, ya bubar saja..

Yah itulah keadaan Indonesia. Memang teramat banyak pekerjaan rumah negeri ini. Dari korupsi yang makin akut, sistem pemerintah pusat dan daerah yang tak tentu arah. Sampai urusan krisis moral yang harus diperdebatkan. Semakin banyak tokoh bermunculan, atas embel-embel demi rakyat atau demi keadilan, ternyata sama saja. Apapun itu, kebaikan harus dimulai sejak dari yang terkecil, dari dalam dan sejak dini. Jadi terkenang kutipan bijak untuk para calon pemimpin negeri ini, pada saat terjadi regenerasi kepemimpinan di zaman Khalifah:

“Khalifah Abu Bakar pernah menasehati Umar bin Khattab yang ragu-ragu menggantikan beliau, pada saat itu Abu Bakar yang sedang sakit memanggil Umar dan berkata, dalam situasi seperti ini, kata Abu Bakar, ada dua orang yang akan masuk neraka. Pertama orang yang menerima jabatan dan tanggung jawab besar padahal gak mampu dan gak layak menerima. Kedua, orang yang mampu tetapi milih lari menghindari tanggung jawab.

Nah,, ironisnya kalaw sekarang malah banyak muncul orang yang merasa diri pantas menjadi pemimpin, termasuk menilai diri pantas menjadi pemimpin.

Semoga kita gak termasuk didalamnya, minimal walaupun belum ada yang dipimpin (berkeluarga aja belum), pimpinlah diri sendiri dengan baik.(hehehe).

Mari kita mulai memperbaiki negeri ini, karena jangan-jangan sikap dari tiap-tiap kita ‘individu’ yang buruk menjadi akumulasi citra buruk Indonesia…heheee, semoga tidak……

Oct 5, 2013

KONSEP DESENTRALISASI DALAM NKRI

Tulisan ini termotivasi atas pertanyaan seorang dosen ketika kuliah dulu “Bagaimana sistem pemerintahan daerah yang baik dalam kerangka NKRI ? Apakah pelaksanaan otonomi daerah sekarang sudah tepat ?”

Secara spontan saat itu saya jawab De-Sentralisasi yang Sentralistik. Berarti anda penganut orde baru tanya dosen. Tidak, jawab saya. Tetapi ini salah satu pilihan solusi yang tepat dalam menghadapi otonomi daerah yang kebablasan.

Sejak reformasi bergulir, harapan akan kesejahterann semakin jauh diangan. Otonomi daerah diartikan sebagai perpindahan aliran dana dari pusat kedaerah. Atas dasar pemerataan pembangunan, daerah menginginkan kewenangan yang besar tanpa kontrol dari pusat. Alhasil, paska UU No. 22 tahun 1999, korupsi bermekaran didaerah, kemiskinan bertambah, kesejahteraan rakyat hanya mimpi disiang bolong. Otonomi daerah hanya menjadi angin segar bagi para koruptor daerah, alih-alih meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan daerah, seluruh sektor menjadi target empuk lahan korupsi.

Hingga 5 tahun berjalan, pusat akhirnya mengeluarkan UU No.32 tahun 2004 untuk membatasi daerah yang euoforia dengan segudang kewenangan barunya. Dan saat ini telah lahir UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang salah satunya memperkuat posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Dengan penguatan Pengawasan preventif dan represif atas pelaksaan APBD dan peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi, mau tidak mau harus diaktifkan. Banyak pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pusat, karena dianggap ‘mendzalimi’ cita-cita reformasi yaitu anti sentralistik. Tetapi tidak menurut saya. Inilah yang disebut De-Sentralisasi yang Sentralistik. Satu konsep sebagai win-win solution era otonomi daerah dalam bingkai NKRI. Mengutip pendapat Kuntowijoyo, bahwasanya birokrasi mengkehendaki penyeragaman. Oleh karena itu, sistem pemerintah daerah tidak boleh dipandang secara parsial, tetapi kesemuanya saling berhubungan (interkoneksi), saling bergantung (interdependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan cakupan kemanfaatan dan kesejahteraan rakyat.

Saya bukan penganut orde baru, dan tidak menginginkan Pemerintah Indonesia kembali Sentralistik. Kondisi ideal yang diharapkan adalah De-Sentralisasi murni yang dibangun diatas kesadaran penuh. Pertanyaannya, kapankah pemerintah dan elite didaerah dapat berjalan dengan sadar dan bertanggung jawab?. Ataukah sistem hukum yang kita anut masih rapuh, sehingga banyak celah bagi ‘oknum’ pejabat daerah dalam melakukan ‘transaksi’ yang merugikan rakyat. Pun jika sistem sudah baik tetapi tidak ada perubahan, maka apa salahnya Pemerintah Pusat secara tegas menarik kembali kewenangan daerah, paling tidak dibatasi untuk kebijakan yang bersifat fiskal, keuangan daerah ataupun penghambat perekonomian daerah. Saya rasa ini menjadi jalan yang halal demi kesejahteraan rakyat. Toh, ini tidak otoriter murni, tetapi semi otoritan. Kenapa harus anti perubahan, jangankan kebijakan politik atau ekonomi yang dapat dibongkar, otonomi daerah harus tetap di reformulasikan untuk mendapat racikan yang tepat dan cermat.

Cita-cita reformasi tentu tidak berhenti, tidak berakhir dengan kondisi yang ternyata semakin memburuk. Me-reformasi hasil reformasi yang tidak baik pun termasuk bagian dari reformasi. Tidak menjadi baik bila menganggap sistem mapan yang telah terbangun tidak dapat dirubah. Jangankan ‘desentrasliasi luas’ yang baru berumur tahunan, orde baru dan orde lama yang konon dianggap sudah mapan pada periodenya masih dapat dirobohkan. Atau sadar dan tidak, ternyata era terbaru saat ini, era reformasi (yang kini masuk jilid kedua) adalah penyumbang terbesar kesengsaraan rakyat Indonesia dalam sejarah.

Ingat, perubahan perlu sebuah kerja keras. Jika elite daerah tidak mau berubah, jangan salahkan Pemerintah Pusat akan menarik seluruh kewenangan daerah, sistem sentralisasi murni akan kembali berjaya. Bersambung…….
www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com