https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-3309919219570739/home July 2012 ~ INDONESIAN LAW (THEORY AND PRACTICE)

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Indonesian Law (Theory and Practice)

by Jaka Mirdinata, SH.MH.

Jul 17, 2012

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERKEBUNAN

Permasalahan hukum muncul dengan seluruh dinamika yang ada dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Perusahaan perkebunan seperti PTPN dalam menjalankan perusahaan bersentuhan antar lintas provinsi dan kabupaten/kota, kecamatan dan desa, serta berhubungan dengan berbagai stakeholders, intansi pemerintahan, perusahaan swasta, tokoh masyarakat, lingkungan masyarakat sekitar, LSM, NGO, pemerintah daerah, pemerintah pusat dan banyak pihak lainnya. Dalam konteks hubungan ke luar tersebut potensi masalah hukum dan gesekan kepentingan antar pihak semakin massif terjadi di wilayah kerja perusahaan perkebunan.

Penyerobotan tanah yang tidak sah dapat merugikan siapapun terlebih lagi apabila tanah tersebut dipergunakan untuk kepentingan usaha perkebunan. Terdapat bermacam-macam permasalahan penyerobotan tanah secara tidak sah yang sering terjadi, seperti pendudukan lahan secara fisik/okupasi lahan, penggarapan tanah, penjualan suatu hak atas tanah, dan lain-lain. Untuk itu diperlukan penanganan seirus, cepat dan menyeluruh terhadap permasalahan pertanahan. Dibawah ini dasar hukum yang dapat dipergunakan untuk menyelesaiakan sengketa tanah perkebunan sebagai berikut :

Upaya Pencegahan dan Penyelesaian Masalah Lahan

Sebagai upaya pencegahan timbulnya klaim atas lahan perusahaan, maka PTPN telah melakukan program sertifikasi HGU seluruh lahan yang dikuasainya serta perlu berkoordinasi intensif antara Unit Usaha bekerjasama dengan aparat kepolisian dalam penganan lahan. Upaya penanganan klaim dan sengketa lahan perlu ditangani secara cepat dan tanggap dengan segera berkoordinasi dengan unsur aparat desa atau kecamatan serta pihak kepolisian. Penanganan yang berlarut-larut akan membuat masalah semakin membesar. 


Dalam hal telah terjadi penyerobotan atau okupasi lahan, upaya penanganan antara lain :


Musyawarah dengan masyarakat penuntut
- Mediasi oleh tokoh masyarakat dan instansi terkait
- Koordinasi dengan aparat keamanan
- Melalui Jalur Hukum di Pengadilan

Dasar Hukum Penyelesaian Masalah Tanah Perkebunan:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya. Penyerobotan Tanah dari Perspektif Pidana di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (UU No 51 PRP 1960) menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam dengan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000 (lima ribu Rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No 51 PRP 1960.


Adapun tindakan yang dapat dipidana sesuai dengan Pasal 6 UU No 51 PRP 1960 adalah (i) barangsiapa yang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, (ii) barangsiapa yang menggangu pihak yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan suatu bidang tanah, (iii) barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan maupun tulisan untuk memakai tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah, atau mengganggu yang berhak atau kuasanya dalam menggunakan suatu bidang tanah, dan (iv) barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun untuk memakai tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah, atau mengganggu pihak yang berhak atau kuasanya dalam menggunakan suatu bidang tanah.

Meskipun Perppu ini sudah lama yaitu tahun 1960, namun hingga saat ini masih berlaku dan dapat diterapkan kepada pihak-pihak yang sewenang-wenang melakukan penyerobotan tanah baik penyerobotan tanah pribadi maupun tanah perkebunan. Proses penyelidikan terhadap dilakukan secara cepat, lahan dapat dikuasai dengan melibatkan pihak kepolisian.

Pasal-pasal lain yang juga sering dipergunakan dalam tindak pidana penyerobotan tanah adalah Pasal 385 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman pidana paling lama empat tahun, dimana brangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband suatu hak tanah yang belum bersertidikat, padahal ia tahu bawha orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atau turut mempunyai hak atasnya.

Undang-undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan :

Pasal 55
Setiap Orang secara tidak sah dilarang:
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;
b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/ a tau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; 
c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau
d. memanen dan/ atau memungut Hasil Perkebunan.  

Pasal 78

Setiap Orang dilarang menadah hasil Usaha Perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian.

Pasal 107

Setiap orang tidak secarah sah yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penj ara paling lama 4 ( empat) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 ( empat miliar rupiah) .

Pasal 111

Setiap Orang yang menadah hasil Usaha Perkebunan yang diperoleh dari pcnjarahan dan/atau pencurian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah) .

Untuk menggunakan dasar hukum ini, bagi perusahaan perkebunan diwajibkan memiliki legalitas atas tanah perkebunan seperti bukti perolehan lahan, bukti ganti rugi, peta tanah dan HGU (bila ada) serta Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat sebagai dasar bahwa perusahaan berhak mendapatkan perlindungan atas usaha perkebunan.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 385 Ayat 1 KUHP menyatakan bahwa "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband suatu hak tanah yang belum bersertifikat, padahal ia tahu bawha orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atau turut mempunyai hak atasnya".

Sedangkan dalam Pasal 385 Ayat 4 KUHP menyatakan bahwa "Barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang berlum bersertifikat, padahal ia tahu bahwa orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atas tanah itu.

Pada penggunaan pasal 385 KUHP ini, diperlukan adanya unsur menguntungkan yang terpenuhi, artinya pihak lawan harus telah memperoleh keuntungan dari penjualan atau menyewakan tanah yang bukan miliknya, dapat dibuktikan dengan adanya proses jual beli secara tidak sah yang dilakukan oleh pihak lawan. Semoga penegakan hukum di bidang pertanahan dapat terus ditegakkan dengan prinsip-prinsip kepastian hukum.

Jul 5, 2012

IMUNITAS ADVOKAT (KEKEBALAN HUKUM ADVOKAT)

.
Advokat pada prinsipnya tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.  Imunitas advokat ini diatur dalam Pasal 16 Undang-undang No 18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan

Namun pada prakteknya, perlindungan hukum bagi advokat ini tidak bersifat mutlak akan tetapi sepenuhnya melihat pada kasus per kasus dan dikembalikan kepada kewenangan hakim untuk memutus apakah tindakan tersebut termasuk tindakan yang mengarah pada masalah perdata atau pidana. Yang perlu diperhatikan adalah prinsip itikad baik dari seorang advokat yang secara profesional membela kepentingan hukum Kliennya sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

PROSES SIDANG PERDATA DI PENGADILAN


1.      Pemeriksaan Perkara
a.       Pengajuan gugatan
b.      Penetapan hari sidang dan pemanggilan
c.       Persidangan pertama :
      Ø  Gugatan gugur
      Ø  Verstek
      Ø  Perdamaian
d.      Pembacaan gugatan
e.       Jawaban tergugat :
      Ø  Mengakui
      Ø  Membantah
      Ø Eksepsi: materil dan formil
f.       Rekonvensi
g.      Replik dan Duplik
i.        Pembuktian
j.        Kesimpulan
k.      Putusan Hakim

2.      Pengajuan Gugatan Pengajuan gugatan
a.       Diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang
b.      Diajukan secara tertulis atau lisan
c.       Bayar preskot biaya perkara pada pengadilan sesuai nilai perkara
d.      Panitera mendaftarkan dalam buku register perkara dan memberi nomor perkara
e.       Gugatan akan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri
f.       Ketua pengadilan menetapkan majelis hakim (3 orang majelis hakim)

3.      Penetapan hari sidang dan Pemanggilan para pihak
a.    Majelis hakim menentukan hari sidang
b.    Pemanggilan para pihak :
     a)  Tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari sidang tidak boleh kurang dari 3 hari
     b)  Tata cara melakukan pemanggilan kepada para pihak (Penggugat dan Tergugat):
  •    Dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti
  •    Pemangilan dengan surat panggilan dan salinan surat gugatan
  •    Bertemu langsung dengan orang yang dipanggil di tempat tinggal/kediaman
  •      Jika tidak bertemu disampaikan kepada kepala desa/lurah
  •     Jika ada pihak yang tidak diketahui tempat tinggal dan kediamannya dilakukan pemangilan melalui bupati/walikota di wilayah hukum penggugat
  •     Jika si tergugat meningal dunia ke ahli warisnya, jika tidak diketahui maka diserahkan kepada kepala desa/lurah
  •    Jika para pihak bertempat tinggal di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang     memeriksa perkara relas dikirim ke pengadilan negeri di mana pihak itu tinggal
  •       Jika berada di luar wilayah Indonesia dikirim ke kedutaan besar Indonesia
4.      Persidangan pertama
    a. Penggugat tidak hadir, tergugat hadir. Pasal 126 HIR/150 RBg: majelis dapat memanggil sekali pihak yang tidak hadir agar hadir pada sidang berikutnya.
      Akibatnya : gugatan dinyatakan gugur  
      b. Penggugat hadir, tergugat tidak hadir. Berlaku Pasal 126 HIR/150 RBG
      Akibatnya : verstek

5.      Verstek
verstek adalah sebuah putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat sedangkan upaya dari verstek adalah verzet/perlawanan. Adapun syarat-syarat dari acara verstek yaitu:
      a.     Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut
Ø  yang melaksanakan pemangilan juru sita
Ø  surat panggilan
Ø  jarak waktu pemanggilan dengan hari sidang yaitu 8 hari apabila jaraknya tidak jauh, 14 hari apabila jaraknya agak jauh dan 20 hari apabila jaraknya jauh (Pasal 122 HIR/10Rv)
       b     Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah
       c.    Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi

6.      Bentuk Putusan Verstek
    a.   Menggabulkan gugatan penggugat, terdiri dari :
  •        mengabulkan seluruh gugatan
  •        mengabulkan sebagian gugata
  •     Hal ini terjadi jika gugatn beralasan dan tidak melawan hukum.
b.  Gugatan tidak dapat diterima, apabila : gugatan melawan hukum atau ketertiban dan kesusilaan (unlawful)
      Ø  Gugatan ini dapat diajukan kembali tidak berlaku asas nebis in idem

c.      Gugatan ditolak apabila gugatan tidak beralasan
      Ø  Gugatan ini tidak dapat diajukan kembali

7.      Perdamaian Perdamaian
a.       Jika pihak penggugat dan tergugat hadir
b.      Dasar hukum Pasal 130 HIR/154 RBg
c.       Upaya yang pertama kali dilakukan oleh hakim
d.      Dilakukan selama sebelum hakim menjatuhkan putusan
e.       Dapat menyelesaikan perkara
f.       Tujuannya :
      Ø  Mencegahnya timbulnya perselisihan di kemudian hari di antara para pihak.
      Ø  Menghindari biaya mahal
      Ø  Menghindari proses perkara dalam jangka waktu lama.
g.  Perdamaian dituangkan dalam akta perdamaian (acte van vergelijk) di mana mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim.
h.      Tidak dapat dibanding kesepakatan para pihak/menurut kehendak para pihak.

8.      Jawaban Tergugat
Setelah gugatan dibacakan oleh penggugat maka bentuk adalah:
a.       Mengakui menyelesaikan perkara dan tidak ada pembuktian.
b.      Membantah harus dengan alasan.
c.       Referte tidak mengakui dan tidak membantah.

9.      Eksepsi/tangkisan
Pengertian dari eksepsi itu sendiri adalah sebuah jawaban tergugat yang tidak langsung pada pokok perkara, sedangkan bentuk dari eksepsi ada 2 yaitu :

  a.  Eksepsi prosessual : eksepsi yang didasarkan pada hukum acara perdata dalam artian eksepsi ini merupakan eksepsi tolak (declinatoir exceptie) yaitu bersifat menolak agar pemeriksaan perkara tidak diteruskan.

Termasuk jenis ini adalah :
Ø  tidak berwenang mengadili, diputus terlebih dahulu oleh hakim
Ø  batalnya gugatan
Ø  perkara telah pernah diputus
Ø  penggugat tidak berhak mengajukan gugatan

 b.   Eksepsi materil : didasarkan kepada hukum perdata materil.
     Bentuk eksepsi ini ada 2 macam yaitu :
     Ø  Eksepsi tunda ( dilatoir exceptie) Contoh : eksepsi karena penundaan pembayaran utang
    Ø  Eksepsi halang ( peremptoir exceptie) Contoh : lampau waktu (daluarsa), penghapusan utang

10.  Rekonvensi
Pengertian dari rekonvensi adalah sebuah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat karena dianggap juga melakukan wanprestasi kepada tergugat. Sedangkan pengajuannya dapat berupa jawaban tergugat maupun dilakukan dalam dupliek, batas waktu pengajuannya sebelum proses pembuktian. Adapun dasar dari hukum rekonvensi yaitu tertera pada Pasal 132a dan Pasal 132b HIR disisip dgn Stb 1927 – 300, Pasal 157 – 158 RBg.
Rekonvensi dapat diajukan baik yang ada koneksitas maupun tidak.

Jika ada koneksitas dapat diperiksa sekaligus/bersama - sama. Jika tidak ada koneksitas dapat diperiksa satu - satu/dipisah.

Rekonvensi tidak dapat diajukan dalam hal :
a. Jika kedudukkan penggugat tidak dalam kualitas yang sama antara gugatan konvensi dengan rekonvensi.
b. Rekonvensi tidak dalam kompentensi yang sama.
c.  Rekonvensi tentang pelaksanaan putusan hakim

11.  Intervensi
Pengertian intervensi adalah masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung bila dia juga mempunyai kepentingan (interest), dasar hukumnya yaitu Pasal   279 -282 BRv seadangkan bentuk dari intervensi yaitu:
       a.       Voeging (menyertai) dengan cara menggabungkan diri kepada salah satu pihak.
       b.      Tussenkomst (menengahi) berdiri sendiri (tidak memihak salah satu pihak
       c.       Vrijwaring (penanggungan) :
             Ø  mirip tapi tidak sama dengan intervensi karena insiatifnya tidak dari pihak ketiga Ybs.
          Ø  ikutsertanya karena diminta sebagai penjamin/pembebas oleh salah satu pihak perkara  d.      Exceptio Plurium Litis Consortium:
             Ø  masuknya pihak ketiga karena ditarik oleh salah satu pihak yang berperkara.
             Ø  dilakukan karena pihak tersebut tidak lengkap.
             Ø  contoh dalam perkara warisan.

D. Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)

Dalam praktek, tergugat sering mengajukan keberatan atas penyitaan yang diletakkan terhadap harta kekayaannya dengan dalih, barang yang disita adalah milik pihak ketiga. Dalil dan keberatan itu kebanyakan tidak dihiraukan pengadilan atas alasan, sekiranya barang itu benar milik pihak ketiga, dia dapat mengajukan keberatan melalui upaya Derden Veret. ternyata meskipun sita telah diletakkan diatasnya, tidak ada muncul perlawanan dari pihak ketiga, oleh karena itu cukup alasan untuk menduga, harta tersebut milik tergugat bukan milik pihak ketiga.

Bagaimana halnya jika barang yang disita benar-benar milik pihak ketiga? Yang bersangkutan dapat mengajukan perlawanan dalam bentuk Derden Verzet atau perlawanan pihak ketiga terhadap Conservatoir Beslag. Demikian penegasan putusan MA No. 3089 K/pdt/1991 . Yang menjelaskan, sita jaminan (CB) yang diletakkan diatas milik pihak ketiga member hak kepada pemiliknya untuk mengajukan Derden Verzet. Dalam kasus perkara ini, pelawan telah member tanah yang disita dari tergugat dengan iktikad baik, lantas PN meletakkan sita diatasnya maka dia berhak mengajukan Derden Verzet.

Derden Verzet atas sita jaminan (CB), dapat diajukan pemilik selama perkara yang dilawan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apabila perkara yang dilawan sudah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, upaya hukum yang dapat dilakukan pihak ketiga atas penyitaan itu, bukan Derden Verzet, tetapi berbentuk gugatan perdata biasa. Demikian dikemukakan dalam putusan MA No. 996 K/pdt/1989, bahwa Derden Verzet yang diajukan atas CB yang diletakkan PN dalam suatu perkara perdata, dapat dibenarkan selama putusan perkara yang dilawan (perkara pokok) belum mempunyai kekuatan hukum tetap serta CB tersebut belum diangkat.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Penyitaan berasal dari terminology beslag (belanda), dan istilah indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Permohonan sita adalah termasuk upaya untuk menjamin hak penggugat/pemohon seandainya iya menang dalam perkara, sehingga putusan pengadilan yang mengakui segala haknya itu, dapat dilaksanakan. Permohonan sita dapat diajukan sebelum perkara diputus bahkan dapat juga diajukan setelah perkara diputus sepanjang belum in karcht, artinya sekalipun perkara itu banding atau kasasi, masih dapat diajukan. Namun biasanya sudah diajukan orang bersama-sama dengan gugatan. Sedangkan bentuk dari penyitaan itu ada 4 yaitu: Conservatoir Belaag / sita jaminan, Revindicatoir Beslaag, Marita Beslaag, dan Eksekusi beslaag.

Dari uraian diatas juga dapat dipahami bahwa macam-macam dari sita ada empat yaitu: Sita Jaminan (Conservatior Beslag), Sita Revindikasi (Revindicatoir Beslag), Sita Eksekusi (Executorial Beslag), dan Sita Atas Harta Perkawinan (Maritale Beslag). Mengenai istilah Maritale Beslag sedikit banyak mengandung kerancuan atau kotroversi dengan ketentuan pasal 13 undang-undang nomor 1 tahun 1974, dalam kerangka undang-undang itu juga dianggap istilah itu kurang etis.

Perlawanan dari pihak ketiga (Derden Verzet) dapat diajukan pemilik selama perkara yang dilawan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apabila perkara yang dilawan sudah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, upaya hukum yang dapat dilakukan pihak ketiga atas penyitaan itu, bukan Derden Verzet, tetapi berbentuk gugatan perdata biasa. Demikian dikemukakan dalam putusan MA No. 996 K/pdt/1989, bahwa Derden Verzet yang diajukan atas CB yang diletakkan PN dalam suatu perkara perdata, dapat dibenarkan selama putusan perkara yang dilawan (perkara pokok) belum mempunyai kekuatan hukum tetap serta CB tersebut belum diangkat.

Jul 4, 2012

TATA CARA PEMBEBASAN BERSYARAT

Penjelasan Pasal 12 huruf k UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "pembebasan bersyarat" adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.”

Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat juga menegaskan pengertian pembebasan bersyarat yaitu, “proses pembinaan Narapidana dan Anak Pidana di luarLembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan”.

Kata kunci yang utama adalah telah menjalani minimal 2/3 dari masa hukuman pidana penjara, misalnya terkena hukuman 2 tahun penjara (24 bulan), boleh dibebaskan apabila minimal sudah menjalani 18 bulan penjara (2/3 dari 24 bulan) dihitung sejak mulai dipenjara, dari awal penahanan baik sejak dari tahanan kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Tidak berlaku pada pidana kurungan yang masa tahanannya tidak sampai 9 bulan penjara.

Di bawah ini adalah persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh narapidana maupun anak pidana (Permenkumham 01/2007):

A.  Persyaratan Substantif
1.  Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijauthi pidana
2.      Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif

B.  Persyaratan Administratif
1.      Kutipan putusan hakim
2.      Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan

Jadi, pembebasan bersyarat ini dapat dimohonkan oleh narapidana/anak pidana itu sendiri atau keluarga atau orang lain sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut di atas ke bagian registrasi di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan).

Jul 3, 2012

ASAS ASAS HUKUM PIDANA

Beberapa contoh asas-asas dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia, sering digunakan dalam berperkara di Pengadilan, menjadi dasar hakim dalam mempertimbangkan dan mengambil putusan pidana di persidangan sebagai berikut :
  1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
  2. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dahulu ada)
  3. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com